Kamis, 11 Januari 2018

Menjadi Khatib

Menjadi Khatib

karya Moch. Akbar Maulana

Aku adalah seorang ulama. Namaku cukup terkenal di lingkungan Desa Mindini. Aku biasa menjadi khatib shalat jum'at di Masjid Terbesar di Desa ini.

Setiap hari, aku selalu menyiapkan naskah khutbah seorang diri. Dengan mencontek dari buku kumpulan ceramah. yang biasa aku beli di toko buku dekat pasar.

Kini, aku sudah memiliki cukup banyak bahan naskah khutbah shalat jum'at. Aku siap menjadi khatib.

Suatu jum'at yang terik, aku bersiap. Aku sedang berada di rumahku. Rumah paling besar di Desa Mindini. Aku memang termasuk keluarga terpandang di Desa ini. mungkin, karena ulama terpandang, orang selalu menaruh hormat dan memberikan rezeki kepada kami. mereka selalu mengirimkan makanan, atau barang sebagai wujud terimakasih.

Selesai mandi, aku masuk kamar, aku menggunakan pakaian muslim terbaik, warna putih porselen, sebening salju. Menggunakan sarung buatan luar negeri, tebal dan menghangatkan. Tak lupa peci hitam mengkilap, seperti sepatu yang habis disemir. Serta lilitan sorban yang menambah kesan ulama pada diriku.

Sebagai khatib terpandang, aku harus menunjukkan diriku. Aku bukan bermaksud pamer, aku hanya ingin memantaskan diri. Kau tak perlu cemburu, kau harus bahagia dengan dirimu sendiri.

Aku bersiap berangkat, jalan kaki menuju Masjid Terbesar di Desa Mindini yang berjarak dekat dari rumahku.

Setiap aku melewati warga, mereka pada menaruh hormat padaku. Mereka mencium tanganku, memberikan senyum kepadaku. Aku merasa dihargai.

Adzan berkumandang, pertanda aku akan segera naik mimbar. Aku berdiri, menuju mimbar, duduk menghadap para jamaah. Dalam hati, aku merasa getir seperti seorang hamba ketika mengingat dosa, melihat masjid yang masih memiliki celah-celah kosong bagi jamaah yang lain.

Aku mengucapkan salam, aku membuka lembaran kertas naskah khutbah yang telah dipersiapkan. Mulai membaca naskah, kemudian, aku melihat sekeliling jamaah, mulai terlihat wajah-wajah mengantuk jamaah, di sebelah kiri agak belakang mimbarku, aku melihat jamaah sedang mengobrol cukup keras, membuatku sempat kehilangan fokus terhadap naskahku. Kembali fokus, Aku melihat sekitar lagi, di sebelah kanan agak sedikit pojok kiri, Aku mendengar suara mengorok cukup keras. Aku kira telah berubah, ternyata masih sama saja, semenjak aku pertama kali khutbah di sini.

Menjadi khatib yang aku emban ini seperti seorang presiden pada rakyatnya, terkadang tak peduli, rakyat tak didengar, Ia seperti hanya berbicara pada cermin.

Kau tahu, aku dalam hati sangat marah, ingin sekali rasanya aku segera berhenti dari rutinitas seperti ini. Aku merasa heran, kenapa mereka tidak menghargai khutbahku? Sementara di luar mereka memperhatikan diriku. Menaruh perhatian padaku.

Kau tahu jawabannya? Aku tak mengerti, seandainya kau tahu, cerita saja padaku. Mungkin dengan mengirimkan surat. Aku akan menunggu.

Aku menutup khutbah dengan salam, segera beranjak menuju tempat shalat, menjadi Imam. Aku sekilas melihat orang yang tertidur bangun, yang mengobrol diam. Khusu melaksanakan shalat.

Setelah selesai, seperti biasa menuju pulang, warga menghampiriku, menyalami dan memberi senyum kepadaku. Aku merasa dihargai kembali, seperti tadi waktu jalan kaki menuju Masjid.

Keadaan ini sungguh menjengkelkan, hingga kepalaku membuat garis urat tegas. Aku kesal, juga heran kenapa keadaan ini terjadi.

Hingga suatu hari, Ibadah jum'at yang kembali aku menjadi khatib, panik melanda diriku. catatan khutbah hilang, buku kumpulan ceramah juga hilang. Kehilangan catatan khutbah seperti hilangnya separuh tubuhku. Aku tanya istriku, ia tak melihat naskahku. Aku mencari, mengacak-acak meja kerjaku, tetap tak menemukannya. Aku merenung, duduk berpikir seperti ilmuwan di labnya. mungkinkah terjatuh di jalan? tak mungkin, warga pasti menemukannya dan menyerahkan kepadaku. mungkin terbuang bersama kertas usang? bisa jadi, dengan kecepatan seekor macan, aku mencari pada tong sampah di rumahku, telah kosong, aku segera pergi ke pembakaran sampah, semua telah gosong, aku semakin panik seperti mahasiswa yang akan UAS namun malamnya lupa tak belajar. Waktu semakin dekat menuju adzan. Aku harus bergegas pergi khutbah atau minta diganti, aku tak pernah diganti, aku malu apabila tidak hadir hanya karena catatan khutbahku hilang. Aku ingin menyerah, namun aku paksakan, hari itu aku berangkat ke Masjid dengan tergesa-gesa.

Tiba di masjid dan mulai berkhutbah, aku dengan tergesa dan sedikit ragu, mulai mengucapkan salam.

Hingga, setelah itu, keadaan berubah. Aku mulai terbiasa, sebab aku tak fokus pada lembaran kertas dan hanya fokus jamaah, maka suatu hal yang mengejutkan terjadi. Tak ada lagi yang mengobrol, tak ada lagi yang mengantuk apalagi hingga mendengkur, mereka sangat memperhatikan, mereka sangat menghargaiku.
Aku tersenyum.
#tugas6 #tugas5 #prosatujuh

Garut, 31 Desember 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar