Salah satu hal yang paling dilematis dalam hidup adalah
menguji kemampuan diri. Sudah menjadi fitrah kalo manusia selalu ingin
tantangan baru, mencoba hal baru.
Tentu, ini adalah hal
yang bagus. Beberapa buku motivasi juga mengharuskan kita untuk mencoba hal
baru. Berpikir kreatif.
Tetapi hal ini kadang menjadi dilematis ketika tanpa sadar
apa yang telah kita lakukan adalah hanya menghancurkan diri sendiri. Bingung?
Hehe.
Mari saya jelaskan. Jum’at kemarin adalah hari yang paling
berat bagi saya. Saya sedang mengikuti pengukuhan anggota.
Kenapa saya bilang berat, karna kemarin saya diuji kekuatan
mental dan ketangguhan saya. Melalui perjalanan post to post, saya lalui
berbagai ujian.
Kemudian ketika saya sedang berada didalam post yang paling
berat yaitu kepemimpinan. Turun hujan. Ini menambah beban saya dan anggota saya
(kebetulan kegiatan ini dilakukan berkelompok).
Ketika sedang diguyur hujan dan kena marah. Teman saya yang
satu kelompok bilang “saya rentan kena hujan, alergi”
kemudian saya bilang “ya
udah kamu bilang ja. Ntar nambah parah kalo dibiarin”. Temen saya kemudian
menjawab “jangan dibilangin. Masih kuat kok”.
Ya sudah saya gak bilang. Akhirnya ketika perjalanan
dilanjutkan teman saya tersebut tumbang dan meminta izin untuk beristirahat.
Padahal, saya sudah mengatakan ke anggota kelompok yang
lain. “kalo sakit/gak kuat bilang ya”
Tetapi tidak ada yang bilang satu pun. Maksud saya disini
adalah orang kadang memang egois pada diri
sendiri dan merasa salah kalo berkata “gak kuat”.
Seperti teman saya tadi.
Karna ketidakmampuan menilai kapasitas diri pada akhirnya
kesannya adalah memaksakan diri.
Tetapi hal ini juga tidak salah. Karna kita tidak tau batas
diri kita.
Seperti seorang pelari maraton difabel(pelari tersebut tidak
mempunyai kedua kaki) bernama Bob willen(search aja digoogle namanya).
Batas dirinya adalah ketika dia sudah divonis tidak bisa
melanjutkan maraton oleh tim dokter panitia beberapa meter dari garis finis.
FYI, Pelari tersebut berlari selama lima hari dengan
melemparkan badannya dengan bantuan tangan untuk bergerak maju.
pelari tersebut menyiapkan sarung tangan untuk menggantikan
sarung tangan yang rusak dipakai berlari.
Jika sudah malam, panitia menyiapkan kantung tidurnya.
Setelah 5 hari dan beberapa meter lagi mencapai garis finis.
Dokter sudah tidak
mengizinkan lagi pelari tersebut untuk mengikuti lomba.
Ayahnya tetap menyemangatinya.
Ayahnya berkata “nak,selesaikan apa yang kamu mulai”.
Kemudian anaknya melanjutkan maratonnya tanpa sapu tangan
dan berhasil mencapai finis.
Secara logika, batas diri pelari tersebut ketika dokter
tidak mengizinkan lagi pelari tersebut. Tetapi terbukti batas diri tersebut
berhasil dilawan.
Kemudian satu cerita lagi. dari seorang petinju. Muhammad
ali namanya. Dia adalah petinju juara dunia kelas berat 3 kali. salah satu
petinju terbaik dan legendaris dunia.
Muhammad ali adalah salah satu petinju yang tidak tau
kapasitas dirinya. Tidak tau kapan berhenti bertarung.
Selang 2 tahun setelah muhammad ali pensiun. muhammad ali
menerima tantangan tinju dari lawan dan kembali manggung.
itu adalah keputusan salah. karna muhammad ali kalah telak.
Badannya rusak karna terlalu banyak menerima pukulan. Kalah dengan TKO sampai
tidak mampu berdiri.
Ali terlalu memiliki mentalitas petarung. Seperti yang
dikatakan petinju ron lyle “as a fighter, you always want to know if you can do
it one more time”.
Fitrah manusia ketika sudah mencapai sesuatu ingin melakukan
lagi yang lebih tapi kuncinya jika tidak tau kapasitas diri akan malah
menghancurkannya tetapi, kita tidak tau kapasitas diri kita sebelum mencoba.
Melakukan lagi yang lebih.
Inilah yang saya maksud dilematis mengembangkan diri.kesalahan
yang sering manusia lakukan. Semoga paham.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar