Selasa, 17 September 2013

dilema mengembangkan diri

Salah satu hal yang paling dilematis dalam hidup adalah menguji kemampuan diri. Sudah menjadi fitrah kalo manusia selalu ingin tantangan baru, mencoba hal baru.

 Tentu, ini adalah hal yang bagus. Beberapa buku motivasi juga mengharuskan kita untuk mencoba hal baru. Berpikir kreatif.

Tetapi hal ini kadang menjadi dilematis ketika tanpa sadar apa yang telah kita lakukan adalah hanya menghancurkan diri sendiri. Bingung? Hehe.

Mari saya jelaskan. Jum’at kemarin adalah hari yang paling berat bagi saya. Saya sedang mengikuti pengukuhan anggota.

Kenapa saya bilang berat, karna kemarin saya diuji kekuatan mental dan ketangguhan saya. Melalui perjalanan post to post, saya lalui berbagai ujian.

Kemudian ketika saya sedang berada didalam post yang paling berat yaitu kepemimpinan. Turun hujan. Ini menambah beban saya dan anggota saya (kebetulan kegiatan ini dilakukan berkelompok).

Ketika sedang diguyur hujan dan kena marah. Teman saya yang satu kelompok bilang “saya rentan kena hujan, alergi”

 kemudian saya bilang “ya udah kamu bilang ja. Ntar nambah parah kalo dibiarin”. Temen saya kemudian menjawab “jangan dibilangin. Masih kuat kok”.

Ya sudah saya gak bilang. Akhirnya ketika perjalanan dilanjutkan teman saya tersebut tumbang dan meminta izin untuk beristirahat.

Padahal, saya sudah mengatakan ke anggota kelompok yang lain. “kalo sakit/gak kuat bilang ya”

Tetapi tidak ada yang bilang satu pun. Maksud saya disini adalah orang kadang memang egois pada diri
sendiri dan merasa salah kalo berkata “gak kuat”.

Seperti teman saya tadi.

Karna ketidakmampuan menilai kapasitas diri pada akhirnya kesannya adalah memaksakan diri.

Tetapi hal ini juga tidak salah. Karna kita tidak tau batas diri kita.

Seperti seorang pelari maraton difabel(pelari tersebut tidak mempunyai kedua kaki) bernama Bob willen(search aja digoogle namanya).

Batas dirinya adalah ketika dia sudah divonis tidak bisa melanjutkan maraton oleh tim dokter panitia beberapa meter dari garis finis.

FYI, Pelari tersebut berlari selama lima hari dengan melemparkan badannya dengan bantuan tangan untuk bergerak maju.
pelari tersebut menyiapkan sarung tangan untuk menggantikan sarung tangan yang rusak dipakai berlari.

Jika sudah malam, panitia menyiapkan kantung tidurnya.

Setelah 5 hari dan beberapa meter lagi mencapai garis finis.

Dokter sudah tidak mengizinkan lagi pelari tersebut untuk mengikuti lomba.

Ayahnya tetap menyemangatinya.
Ayahnya berkata “nak,selesaikan apa yang kamu mulai”.

Kemudian anaknya melanjutkan maratonnya tanpa sapu tangan dan berhasil mencapai finis.
Secara logika, batas diri pelari tersebut ketika dokter tidak mengizinkan lagi pelari tersebut. Tetapi terbukti batas diri tersebut berhasil dilawan.

Kemudian satu cerita lagi. dari seorang petinju. Muhammad ali namanya. Dia adalah petinju juara dunia kelas berat 3 kali. salah satu petinju terbaik dan legendaris dunia.

Muhammad ali adalah salah satu petinju yang tidak tau kapasitas dirinya. Tidak tau kapan berhenti bertarung.
Selang 2 tahun setelah muhammad ali pensiun. muhammad ali menerima tantangan tinju dari lawan dan kembali manggung.

itu adalah keputusan salah. karna muhammad ali kalah telak. Badannya rusak karna terlalu banyak menerima pukulan. Kalah dengan TKO sampai tidak mampu berdiri.

Ali terlalu memiliki mentalitas petarung. Seperti yang dikatakan petinju ron lyle “as a fighter, you always want to know if you can do it one more time”.

Fitrah manusia ketika sudah mencapai sesuatu ingin melakukan lagi yang lebih tapi kuncinya jika tidak tau kapasitas diri akan malah menghancurkannya tetapi, kita tidak tau kapasitas diri kita sebelum mencoba. Melakukan lagi yang lebih.

Inilah yang saya maksud dilematis mengembangkan diri.kesalahan yang sering manusia lakukan. Semoga paham.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar