Selasa, 26 September 2017

LOGIKA VS PERASAAN (ABOUT KARIR)

pilihan tentang pekerjaan seharusnya menggunakan logika. bukan perasaan. perasaan itu terlalu kotor, penuh dikotomi, perpecahan yang rumit. logika, variabelnya jelas, minim distraksi, asalkan masuk logika, ambil saja.

saya selalu kagum sama orang-orang yang dengan tulus dan tak peduli perkataan orang atau dirinya sendiri, menjalani pekerjaan seakan memiliki dunianya sendiri. orang-orang yang passionate dan ikhlas bekerja. pekerjaan bukan sebagai pilihan tetapi bawaan.

mereka yang dengan kerja kerasnya berhasil membentuk brand atas nama dirinya sebagai pemilik identitas akan sesuatu. seperti pecinta kuliner, reviewer handphone, dan penulis olahraga. mereka bekerja penuh keikhlasan.

logika mereka saya tidak tahu, mungkin menurut mereka, kekayaan tidak hanya sekedar uang. mungkin dengan kepuasan batin yang diterima. mereka bahagia dan mendapatkan uang. tetapi, proses tersebut tidak cepat, perlu usaha-usaha bertahun-tahun membentuk brand yang kuat seperti itu. 

bagi saya yang sekarang berumur 24 tahun. proses itu selalu dibenturkan dengan logika. kalian bisa membayangkan orang-orang tersebut dalam membangun brandnya harus mengeluarkan uang berapa banyak? waktu berapa lama? yang secara logika tentu berat sekali.

saya sekarang mencari karir. wajar. umur 24 tahun. dalam proses mencari karir ini, perasaan-perasaan membenturkan logika dengan dahsyat. sekarang logika berkata, mending kerja enak. jadi pegawai atau jualan yang jelas penghasilannya. atau bahkan jadi anggota MLM. cepat kaya.

tapi perasaan membenturkan itu, perasaan mengatakan, buat apa? kalian melakukan itu tak bahagia. sudah nikmati proses ini. kejar hal yang kamu sukai. ini hanya sementara. kemiskinan ini hanya sementara. nanti kamu bakal bahagia dan hidup kaya. 

see, ini adalah hal yang sering menjadi permasalahan orang-orang tentang karir mereka. coba bagi kalian yang punya masalah serupa. silahkan cerita disini. terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar