Sabtu, 30 September 2017

Menunggu hingga kaki hilang

Aku perlu duduk. Tak ada tempat duduk di sekelilingku. Hanya trotoar yang ramai. Aku tak mau duduk di trotoar. Kotor dan bau sampah.
Bajuku nanti rusak. Badanku nanti bau. Aku tak mau badanku bau dan rusak. 
Kalau bukan karena perempuan, aku tak mau menunggu seperti hari ini. Berdiri selama dua jam di pinggir jalan. Melelahkan sekali.
Aku tak sanggup lagi berdiri. Kakiku sudah kram. Sebentar lagi, kakiku sangat pegal. Aku harus berpikir.
Jalan kaki. Ya, aku harus jalan kaki. Segera saja aku jalan kaki. Jalan kaki bolak balik. Ke kiri dan ke kanan.
Sudah terasa lebih baik, rasa kaku mulai mereda. aku mulai menunggu lagi. Demi perempuan itu, aku harus kuat.
Sudah 3 jam aku berdiri, ini adalah rekor berdiriku. Rekor terlamaku berdiri adalah saat upacara kemerdekaan. Perempuan itu membuatku mampu berdiri lebih lama dari negara.
Tak habis pikirku, bagaimana mungkin bisa terjadi. Tiba-tiba aku merasa malu. Temanku yang nasionalis pasti akan menertawakanku. Masa sama perempuan aku lebih kuat.
Aku hempaskan rasa malu itu, aku kembali lagi pada fokusku. Perempuan itu.
Kini, aku tak merasakan kakiku. aku seakan tak punya kaki. Aku melayang. Enak sekali, pikirku. Aku tak perlu merasakan pegal lagi. Aku mampu menunggu kamu seribu tahun lagi.
Aku senang sekali. Aku dapat bergerak bebas tak terbatas. Ingin aku segera menemuimu. Mengejarmu hingga ketemu.
Tapi kamu bilang tunggu. Aku tak bisa membantah. Ucapanmu telah menjadi sabda bagiku. Aku harus nurut. Agar kamu tak sakit hati terhadapku.
Aku menunggu lagi.
Tanpa kaki, kini aku hanya merasa melayang. Aku merasa tak sempurna. Pikiranku berubah. Aku ingin kakiku. Aku ingin merasakan pegal lagi.
Ternyata menyenangkan sekali punya kaki. Aku dapat merasakan sakit. Aku dapat menikmati kesakitan. Kesakitan membuatku bangga menunggu kamu.
Tanpa sakit, aku tak merasa bangga lagi. Orang lain lebih berkorban untuk kamu. Orang lain merasakan sakit dulu untuk bertemu kamu, aku tidak.
Aku tak mau kenikmatan ini. Aku ingin kakiku lagi. Aku ingin pegalku lagi. Aku ingin berkorban sakit untuk kamu.
Perempuan itu, harus tahu pengorbananku. Aku yang menunggu hingga merasa tanpa kaki. Aku yang dulu merasakan sakit hingga sekarang tak terasa sakit.
Sekarang kakiku hilang. Entah kemana, aku tak tahu. Aku menjadi takut. Apakah perempuan itu masih mau menerimaku? Apakah perempuan itu hanya melihatku sekarang? Ketika aku tanpa kaki. Padahal tadi selama menunggu. Kakiku masih ada, utuh.
Aku menunggumu hingga kakiku hilang. Aku takut. Aku tak tahu apakah ini keberhasilan bagimu? Apakah pengorbananku lebih besar dari laki-laki lain?
Aku menunggumu hingga kakiku hilang. Aku takut. Kamu tak bersedia menerima diriku. Kamu langsung menilaiku tanpa sempat aku cerita.
Kakiku hilang karena menunggumu. Timbul rasa ibakah dalam dirimu? Atau kamu menganggap aku bohong? Aku takut.
Kakiku hilang karena menunggumu dan kamu tak mempercayaiku.

1 komentar: