Sabtu, 14 Oktober 2017

Aku lapar dan tak punya uang (sebuah pemikiran orang miskin)

Aku lapar dan tak punya uang. Bagaimana aku bisa hidup? Pernah kalian bayangkan, bagaimana kondisi ini terjadi dalam hidup?

Aku ini bukan pengidap depresi. Aku hanya realistis saja. Ada banyak kondisi dimana kebutuhan itu lebih banyak dari modal yang ada. Memilah dan memilih prioritas adalah seni yang mesti dikedepankan.

Ini tentu tidak terjadi bagi mereka, pilihan yang lebih banyak tersedia. Tinggal tunjuk saja. Kalian pernah lihat syahrini di media? Bayangkan dia diperiksa polisi saja dandannya bisa semahal itu.

Ini soal ketimpangan kesejahteraan. Ini soal menutup diri dari kenyataan bahwa ada orang kaya yang dengan bangga pamer kekayaannya. Ini tentang ikhlas menerima dengan kemiskinan yang ada.

Kita harus mawas diri. Kita harus menutup diri dari televisi. Televisi ini terlalu otoriter. Penyedia pilihan yang semu. Terbatas. Orang miskin di pelosok harusnya nonton youtube, bukan nonton televisi.

Seandainya negara indonesia ini tidak begitu luas seperti ini. Mungkin lebih mudah mensejahterakan masyarakat. Penduduknya lebih maju. Karena kalau dipikir-pikir ya, kalau kalian mengerucutkan indonesia menjadi jakarta misalnya, kita adalah negara maju, masalah kemiskinannya juga masalah kemiskinan orang maju. Kesulitan tempat tinggal, lapangan pekerjaan, kebersihan dan kesehatan, pendidikan. Hal-hal yang menjadi masalah orang maju, atau kota istilahnya.

Bandingkan misalnya dengan daerah pelosok, mereka pekerjaan ada, tempat tinggal ada, kebersihan dan kesehatan ada, akses pendidikan ada. Justru masalah terbesarnya adalah ketersediaan akses terhadap hal-hal yang hanya bisa diakses oleh kota. Minimnya pilihan. Sedikitnya akses. Kontradiktif kan ya?

Perputaran ekonomi juga sedikit gitu, antara kelompok kota dengan desa pelosok, kalau dikapitalisasi, jumlah uang yang beredar tentu lebih banyak orang maju. Orang desa sedikit tetapi dari sedikit itu ada nilai kesederhanaan dan juga tidak serakah. Artinya kebahagiaan tetap hadir meski kapitalisasi ekonominya sedikit. Ini tentu menjadi kajian berpikir kita bagaimana menyadari bahwa sebenarnya yang harus segera dibenahi itu bukan soal mengubah desa pelosok menjadi kota, tapi lebih kepada bagaimana sebuah entitas desa bisa bertahan dengan ciri khasnya dan semua warga dapat hidup dengan itu semua.

Intinya adalah tidak semua daerah solusi perubahannya sama. Tidak semua wilayah harus seperti jakarta.

Aku lapar dan tak punya uang. Aku bukanlah seorang depresi. Aku hanya pemikir drastis.

4 komentar:

  1. Intinya di syukuri apa yg kita punya, setidaknya akan menjadikan kaya jiwa.

    BalasHapus
  2. waww...
    (Saya anak kos, dan tau bagaimana rasanya itu :v )

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus