Senin, 23 Oktober 2017

Asongan di tahun 1998

Bapak rodi adalah pedagang asongan. Biasanya tepat jam 4 pagi dia sudah mulai mempersiapkan diri. Tahun 1998 ketika krisis ekonomi menerpa, bapak rodi masih tetap berjualan.

Rodi adalah lelaki tua berumur sekitar 64 atau 65 tahun. Tak jelas, karena akta kelahiran yang aslinya dilalap api ketika dia masih remaja. Sudah beruban hampir diseluruh kepalanya, bapak rodi masih saja terlihat bugar.

Sebenarnya, hari ini adalah hari biasa bagi bapak rodi. Dia sudah bangun subuh hari. Mempersiapkan barang dagangan berupa makanan cemilan dan minuman segar.

Bapak rodi sudah berangkat pukul 05.00 ke tempat biasanya berjualan. Sebuah perempatan lampu merah yang ramai, diatas trotoar yang seharusnya bagi pejalan kaki. Bapak rodi tak peduli, meski pejalan kaki harus mengalah. Hanya ini yang bisa dia lakukan untuk mencari rezeki.

Rodi sudah tiba pukul 6 pagi. Ia mulai menggelar dagangannya. Mempersiapkan sebuah roda yang mulai dirapihkan agar menjadi semacam etalase. Lebih bagus dari ruko.

Rodi tak tahu, ia hanya lulusan SD. Tahun 1998, indonesia sedang mengalami krisis. Mahasiswa pada turun ke jalan. Menuntut perbaikan.

Hari itu, ketika pak rodi sedang duduk dengan sebatang rokok menempel di mulutnya, suasana di sekitarnya seperti bising yang aneh. Bukan bising kendaraan, tetapi bising teriakan dan umpatan dari polisi dan mahasiswa.

Pak rodi masih santai saja, dia diam saja seperti sedang memancing ikan. Dia tak mengerti apa yang terjadi.

Desingan peluru kemudian hadir memecah umpatan. Mahasiswa yang telah berteriak kemudian berlari menyelamatkan diri. Mereka berkeliaran mencari aman seperti tikus yang kepergok pak tani.

Pak rodi tetap dengan posisinya, duduk dengan menghisap rokok, sesekali dia masukkan ke mulut, sesekali kemudian hanya di simpan dalam jarinya yang gelap.

Suasana semakin chaos, polisi dengan pentungan serta gas air mata menyerang mahasiswa. Berlari seperti pak tani mengejar tikus yang menganggu.

Hingga tiba pada saat salah seorang mahasiswa, tergeletak seperti terkena peluru tetapi masih hidup. Mulut menganga seperti menahan sakit yang sangat. Tak berdaya menuju ajal. Mengangkang serta mata terbuka.

Pak rodi masih diam, dia masih saja merokok. Dia tak tahu, dia bahkan tak peduli. "Aku lapar, aku butuh uang, mau ada apapun saya harus tetap berjualan" mungkin itu yang ada dipikiran bapak rodi saat itu.

Diujung jalan lain sebrang pak rodi, aku sedang memotret. Merekam jejak. Manusia indonesia tak peduli ada apapun, selama dia butuh uang, dia tetap jualan.

*Terinspirasi dari sebuah foto dokumentasi kejadian tragedi trisakti 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar