Kamis, 12 Oktober 2017

Logika definisi

Dalam buku cantik itu luka eka kurniawan terdapat kalimat perempuan buruk rupa kalau dientot sama dengan perempuan cantik.
Kesan pertamaku wow keren banget. Tajam dan berani. Terus tergiang sudah semua bacaan buku aku selama ini yang ngepop.
Tak sebanding, lucu sekali aku pikir. Anehnya buku eka kurniawan itu terkenal bahkan hingga diterjemahkan di luar negeri. Bandingkan dengan novel ngepop, tercetak best seller tapi jarang sekali mendapat apresiasi oleh luar negeri. Tidak pernah novel raditya dika diterjemahkan ke dalam bahasa japan, misalnya.
Kenapa bisa terjadi? Apa karena apresiasi? Apa karena demografi?
Indonesia ini aneh ya, kemudian saya mulai berpikir. Sekarang pertanyaannya, apa yang kita pilih? Novel ngepop atau tidak? Novel yang mendapatkan khatulistiwa literasi award atau hanya mendapatkan tulisan di cover bukunya, terjual 10 juta copy. Mana yang kita pilih?
Tapi ya, kenapa sih kita tuh senang sekali kategori? Setiap ada karya selalu ingin dimasukkan ke dalam kotak sebagai pemisah diantara yang lainnya. Karya tulis yang BEDA pasti gampang dikategorikannya. Bagaimana misalnya dengan yang mirip-mirip? Seperti novel-novelet atau cerpen-fiksimini.
Apa saya harus berkutat terus pada definisi? Terus mencari makna? Terus mengkotak-kotak? Kenapa kita tidak segera kepada situasi kasus? Studi kasus yang valid. Praktek yang rapih.
Menurutku ya, daripada kita belajar tentang ini bentuk apa, ini bentuk apa? Mending kita belajar bentuk ini bagus dipakai buat apa? Bentuk seperti itu dipakai apa?
Hal itu sebenarnya buang-buang waktu, sebagaimana misalnya pemilihan karakter novel ngepop dan novel tidak ngepop, pemilihan dan pengkategorian ini mengurangi kadar kenikmatan kita menikmati bacaan. Mengurangi kenikmatan menulis.
Iya, itu juga berkaitan dengan karir yang ingin ditempuh, pilihan kenikmatan. Itu pembahasan lain lagi.
Tapi intinya ada hal yang lebih penting dari mengetahui, yaitu menerapkannya dalam kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar