BAB VI
Pelengkap Jawaban
Setelah momen yang tak sengaja
itu. Agil dalam hati bersyukur. Tuhan telah merancang skenario yang baik.
Akhirnya ia tahu dan mampu mengungkapkan perasaannya. Ia sadar, ia mungkin
sengaja tadi tidak mematikan laptop. windi juga mungkin sengaja ingin melihat.
Entah, kesempatan-kesempatan yang selalu dipertemukan dengan kesiapan akan
menghasilkan kesuksesan. Agil percaya itu.
Setelah mengerti perasaan
masing-masing. Agil beserta windi menjadi lebih cair. Tidak ada lagi momen
canggung yang hadir. Kini hanya ada dua insan yang sedang berbagi rasa.
Menceritakan hidup dari sudut pandang berbeda. Pelayan datang membawa pesanan
masing-masing. Agil mengaduk caramel machiatonya dengan sendok kecil. Windi
langsung meminum sedikit green tea.
“sini, lihat cerpenku ini?
Menurutmu gimana?” agil bertanya pada windi yang tersenyum setelah menyeruput
green tea yang dipesannya tadi. Agil membenarkan posisi duduknya. Ia berusaha
sedekat mungkin dengan windi. Windi masih berusaha menjaga jarak. Bertemu
dengan posisi nyaman. Windi memperhatikan naskah cerpen agil. membaca dengan
teliti penuh perhatian.
“ini sepertinya konflik dan
penokohannya kurang kuat.” Windi memberikan pendapat.
Agil memperhatikan. Ia
bersilihganti pandangan antara layar laptop dan wajah windi. Ia tersenyum.
Menarik nafas. “iya ya konfliknya kurang kuat?” kata agil ragu.
“bener, masa kamu gak percaya
sama aku sih SAYANG.” Windi menekankan pada kata sayang. Membuat agil tersenyum
bahagia. Pipinya makin memerah.
Windi tanpa sadar mengatakan itu.
Kata Sayang yang tak pernah ia ucapkan. Apalagi untuk seorang laki-laki.
Nalurinya membawa ia mengatakan kata itu.
Windi mengusap pipinya. Ia
mengelap mulutnya. Seakan menutup berusaha berhenti mengatakan sesuatu. Ia
menjadi canggung.
Agil memperhatikan kembali naskah
cerpennya. Ia segera mengikuti saran pacarnya itu. Entah, ia merasa sudah layak
jika menyebut windi sebagai pacarnya. Meski ia tahu, pacaran bukanlah kebiasaan
seorang windi. Ia tak pernah melihat windi berpacaran kecuali dalam buku-buku
yang diterbitkannya. Windi juga tak pernah bercerita soal itu.
Ia mengetik ulang naskah
cerpennya. Ia merogoh pada tasnya sebuah buku kecil berisi catatan tentang
tulisannya. Ia menyimpannya di samping laptop. jauh dari posisi windi yang
berada di sebelah kirinya. Kemudian agil menuliskan catatan pada buku kecil
tersebut.
“Penokohan yang kuat,” gumam agil
dalam hati. Ia segera menuliskan naskah cerpennya. Memperbaiki tulisannya.
Windi memperhatikan dengan seksama. Sebagai penulis buku ia paham bagaimana
memperbaiki naskah buku. Beruntung agil bersamanya.
Akhirnya selesai, ia
meminum kopi. Tuntas sudah kopi diseruputnya. Kini yang tersedia hanya cangkir
kosong. Windi juga sama, green tea miliknya telah habis diminumnya. Agil merasa
lapar, ia ingin memesan makanan sebelum dicegah oleh windi. Windi ingin makan
di rumahnya. Agil tersenyum, ia turuti keinginan windi. Sebelum itu, ia
mengambil telepon genggamnya. ia menelepon editornya. mengirimkan naskah hasil
revisinya.
Wawan menyambut teleponnya dengan
ramah. Ia meminta agil mengirimkan naskahnya melalui email. Agil segera
mematikan teleponnya. Membuka alamat email. Mengirimkan naskahnya melalui
attachment email dari laptopnya. lalu ia menutup teleponnya. Ia pulang menuju
rumah windi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar