Senin, 27 November 2017

Kapan Kawin BAB VI

BAB VI

Pelengkap Jawaban

Setelah momen yang tak sengaja itu. Agil dalam hati bersyukur. Tuhan telah merancang skenario yang baik. Akhirnya ia tahu dan mampu mengungkapkan perasaannya. Ia sadar, ia mungkin sengaja tadi tidak mematikan laptop. windi juga mungkin sengaja ingin melihat. Entah, kesempatan-kesempatan yang selalu dipertemukan dengan kesiapan akan menghasilkan kesuksesan. Agil percaya itu.

Setelah mengerti perasaan masing-masing. Agil beserta windi menjadi lebih cair. Tidak ada lagi momen canggung yang hadir. Kini hanya ada dua insan yang sedang berbagi rasa. Menceritakan hidup dari sudut pandang berbeda. Pelayan datang membawa pesanan masing-masing. Agil mengaduk caramel machiatonya dengan sendok kecil. Windi langsung meminum sedikit green tea.

“sini, lihat cerpenku ini? Menurutmu gimana?” agil bertanya pada windi yang tersenyum setelah menyeruput green tea yang dipesannya tadi. Agil membenarkan posisi duduknya. Ia berusaha sedekat mungkin dengan windi. Windi masih berusaha menjaga jarak. Bertemu dengan posisi nyaman. Windi memperhatikan naskah cerpen agil. membaca dengan teliti penuh perhatian.

“ini sepertinya konflik dan penokohannya kurang kuat.” Windi memberikan pendapat.

Agil memperhatikan. Ia bersilihganti pandangan antara layar laptop dan wajah windi. Ia tersenyum. Menarik nafas. “iya ya konfliknya kurang kuat?” kata agil ragu.

“bener, masa kamu gak percaya sama aku sih SAYANG.” Windi menekankan pada kata sayang. Membuat agil tersenyum bahagia. Pipinya makin memerah.

Windi tanpa sadar mengatakan itu. Kata Sayang yang tak pernah ia ucapkan. Apalagi untuk seorang laki-laki. Nalurinya membawa ia mengatakan kata itu.

Windi mengusap pipinya. Ia mengelap mulutnya. Seakan menutup berusaha berhenti mengatakan sesuatu. Ia menjadi canggung.

Agil memperhatikan kembali naskah cerpennya. Ia segera mengikuti saran pacarnya itu. Entah, ia merasa sudah layak jika menyebut windi sebagai pacarnya. Meski ia tahu, pacaran bukanlah kebiasaan seorang windi. Ia tak pernah melihat windi berpacaran kecuali dalam buku-buku yang diterbitkannya. Windi juga tak pernah bercerita soal itu.

Ia mengetik ulang naskah cerpennya. Ia merogoh pada tasnya sebuah buku kecil berisi catatan tentang tulisannya. Ia menyimpannya di samping laptop. jauh dari posisi windi yang berada di sebelah kirinya. Kemudian agil menuliskan catatan pada buku kecil tersebut.

“Penokohan yang kuat,” gumam agil dalam hati. Ia segera menuliskan naskah cerpennya. Memperbaiki tulisannya. Windi memperhatikan dengan seksama. Sebagai penulis buku ia paham bagaimana memperbaiki naskah buku. Beruntung agil bersamanya. 

Akhirnya selesai, ia meminum kopi. Tuntas sudah kopi diseruputnya. Kini yang tersedia hanya cangkir kosong. Windi juga sama, green tea miliknya telah habis diminumnya. Agil merasa lapar, ia ingin memesan makanan sebelum dicegah oleh windi. Windi ingin makan di rumahnya. Agil tersenyum, ia turuti keinginan windi. Sebelum itu, ia mengambil telepon genggamnya. ia menelepon editornya. mengirimkan naskah hasil revisinya.


Wawan menyambut teleponnya dengan ramah. Ia meminta agil mengirimkan naskahnya melalui email. Agil segera mematikan teleponnya. Membuka alamat email. Mengirimkan naskahnya melalui attachment email dari laptopnya. lalu ia menutup teleponnya. Ia pulang menuju rumah windi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar