BAB VII
Pertanyaan lain yang
lebih penting.
Tiba di rumah windi. Ia mempersilahkan
agil untuk masuk ke dalam rumahnya. Namun agil menolak. Ia hanya menunggu di
teras rumah yang sekaligus rumah baca. Tempat rak-rak buku terpajang. Ia bergerak
menuju arah rak buku. Memilah untuk kemudian mengambil sebuah buku. “Pulang”
karya Leila S. Chudori. Membuka halaman buku. Membaca sebentar. Kemudian duduk
kembali. Di sebuah karpet warna merah.
Windi telah berganti pakaian. Kali
ini lebih kasual. Ia kembali ke tempat agil. mengajak masuk ke dalam.
“agil, udah dulu. Yuk masuk. Kita
makan” ucap windi, sekilas dari pintu. Agil segera bergegas masuk. Menyusul windi.
kembali ia merasakan sedikit guncangan. Ia sadar ini adalah pertaruhan dirinya.
Ia harus menunjukkan di depan orangtuanya. Ia layak menjadi mantunya.
Kini dengan sedikit gugup, ia
sudah berada di sebuah meja makan berbentuk persegi panjang. Agil beserta
keluarga windi makan bersama. Agil dan windi berdekatan di sebelah kiri. Kedua adik
windi di seberangnya. Intan dan luki. Intan adik windi sudah kelas 8 SMP. Luki lebih
muda, ia masih sekolah dasar. Orangtuanya berhadap-hadapan. Membelah windi dan
agil. agil lebih dekat ke ayahnya. Windi lebih dekat kepada ibunya. Ayahnya windi
meminta nasi kepada ibunya.
“agil, silahkan makan. Ambil aja
gak apa-apa!” tawar ibunya. Ayah windi cukup tegas. Ia berkumis dan memiliki
darah batak. Bicaranya lantang. Membuat ciut siapapun yang mendengarnya. Di balik
semua itu, ayahnya windi sangat humoris. Selalu mampu membuat cair suasana
dengan celetukannya.
Agil masih gugup dan sedikit
tegang. Ia khawatir dengan reaksi ayahnya tentang dirinya. Ia ragu, apa mampu
sesuai dengan keinginan ayah windi.
Windi mengambil nasi. Ia bertugas
membagikan piring berisi nasi pada agil. ia sedikit berdiri, ia memberi isyarat
soal lauk pauk yang diinginkannya. kadang ia menggeleng atau mengangguk. Tanpa suara
dan juga kata. Setelah semuanya, agil sudah bersiap makan.
Ayahnya membuka suara, “sebelum
makan mari kita berdoa dulu. Agil, silahkan! Mimpin Doa!”
Deg! Agil tertegun. Ia kaget
ditodong seperti itu. Windi menatapnya. Sebuah isyarat dukungan untuknya. Ia memperbaiki
posisi duduknya. Bersiap memulai berdoa.
“terimakasih Om, sebelum makan
mari kita berdoa. Mohon untuk khidmat mengikuti. Terimakasih atas rezeki yang
diberikan Tuhan. Semoga selalu ada keberkahan dari setiap makanan yang kita
makan. Amin. Mari makan!”
Ketika asyik makan, bapaknya
tiba-tiba bersuara, “jadi kapan bisa nikah?” agil tersedak. Ia mengambil minum
di sebelah kanannya. Meminumnya. Kemudian menjawab dengan tergesa-gesa. “secepatnya
Om”
“Bapak ini ingin meriah acara
pernikahannya, kau harus siapkan ya gil!” Ucap ayahnya agil dengan aksen
bataknya yang sudah agak luntur.
Agil kembali tersedak, ia
berpikir, pertanyaan kapan nikah jawabannya mudah, pertanyaan lebih sulit
adalah persiapan menikah. Biayanya dari mana? Ini yang menganggu agil setiap
keinginan menikah muncul. Pertanyaan itu muncul lagi, dan kini lebih pelik
karena situasi ekstrem. Ia menahan diri. Mengambil minum, menengguknya dua
kali. “insya allah Om, nanti saya siapkan.”
“Mudah-mudahan royalty bukunya
cukup untuk memenuhi keinginan ayahnya windi” harap agil dalam hati.
Kembali makan, agil semakin
mantap. Ia mulai biasa. Tak lagi canggung seperti awal tadi. Tak terasa acara
makan pun selesai. Ia membereskan makannya. Ia kembali ke teras rumah. Diikuti ayahnya
windi. windi sedang mencuci piring di dapur bersama ibunya.
Hujan deras mengguyur kota
bandung. Gemericik hujan membentuk plafon rumah menimbulkan suara keras nan
kasar. Ayahnya dan agil sedang menikmati hujan dengan sedikit teh hangat di
teras rumah. Seperti latar belakang, hujan memberikan simfoni pada obrolan
mereka.
“Kau tau? Hidup ini tak mudah. Keputusan
besar harus dipikirkan matang-matang” ayahnya membuka pembicaraan.
Agil menyimak dengan
sungguh-sungguh.
“tidak sekedar bayangan indah. Persiapkan
juga menghadapi hal terburuk. Kau tau hidup juga perlu asuransi. Ia meminum teh
hangatnya sebentar, kemudian melanjutkan “Tidak sekedar asuransi kesehatan atau
pekerjaan. Asuransi hidup berupa kemampuan mengatasi masalah juga diperlukan”
Agil mengangguk. Sesekali pandangannya
menatap calon mertuanya itu. ia memahami betul apa yang dikatakan beliau.
Ayahnya menepuk bahunya agil. Kemudian
kembali masuk ke dalam rumah. Agil yang sedari tadi duduk. Segera bangkit, ia
mengambil buku yang tadi ia buka. Ia baca kembali lagi hingga windi datang dari
dalam rumah. Sekarang ia memakai kacamata. manis sekali.
“asyik bener nih baca bukunya.”
Agil tertawa kecil. Ia menatap
windi. suara harum strawberry kembali tercium. Ia menjadi ketagihan.
Windi duduk di samping agil.
teras rumah yang sepi. Hujan membuat pengunjung rumah baca telah pulang. Sepi tak
ada satupun yang datang.
Ia meninum air teh hangat tegukan
terakhirnya. Pamit pulang kepada windi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar