Senin, 27 November 2017

Kapan Kawin part VII

BAB VII
Pertanyaan lain yang lebih penting.
Tiba di rumah windi. Ia mempersilahkan agil untuk masuk ke dalam rumahnya. Namun agil menolak. Ia hanya menunggu di teras rumah yang sekaligus rumah baca. Tempat rak-rak buku terpajang. Ia bergerak menuju arah rak buku. Memilah untuk kemudian mengambil sebuah buku. “Pulang” karya Leila S. Chudori. Membuka halaman buku. Membaca sebentar. Kemudian duduk kembali. Di sebuah karpet warna merah.

Windi telah berganti pakaian. Kali ini lebih kasual. Ia kembali ke tempat agil. mengajak masuk ke dalam.

“agil, udah dulu. Yuk masuk. Kita makan” ucap windi, sekilas dari pintu. Agil segera bergegas masuk. Menyusul windi. kembali ia merasakan sedikit guncangan. Ia sadar ini adalah pertaruhan dirinya. Ia harus menunjukkan di depan orangtuanya. Ia layak menjadi mantunya.

Kini dengan sedikit gugup, ia sudah berada di sebuah meja makan berbentuk persegi panjang. Agil beserta keluarga windi makan bersama. Agil dan windi berdekatan di sebelah kiri. Kedua adik windi di seberangnya. Intan dan luki. Intan adik windi sudah kelas 8 SMP. Luki lebih muda, ia masih sekolah dasar. Orangtuanya berhadap-hadapan. Membelah windi dan agil. agil lebih dekat ke ayahnya. Windi lebih dekat kepada ibunya. Ayahnya windi meminta nasi kepada ibunya.

“agil, silahkan makan. Ambil aja gak apa-apa!” tawar ibunya. Ayah windi cukup tegas. Ia berkumis dan memiliki darah batak. Bicaranya lantang. Membuat ciut siapapun yang mendengarnya. Di balik semua itu, ayahnya windi sangat humoris. Selalu mampu membuat cair suasana dengan celetukannya.
Agil masih gugup dan sedikit tegang. Ia khawatir dengan reaksi ayahnya tentang dirinya. Ia ragu, apa mampu sesuai dengan keinginan ayah windi.

Windi mengambil nasi. Ia bertugas membagikan piring berisi nasi pada agil. ia sedikit berdiri, ia memberi isyarat soal lauk pauk yang diinginkannya. kadang ia menggeleng atau mengangguk. Tanpa suara dan juga kata. Setelah semuanya, agil sudah bersiap makan.

Ayahnya membuka suara, “sebelum makan mari kita berdoa dulu. Agil, silahkan! Mimpin Doa!”

Deg! Agil tertegun. Ia kaget ditodong seperti itu. Windi menatapnya. Sebuah isyarat dukungan untuknya. Ia memperbaiki posisi duduknya. Bersiap memulai berdoa.

“terimakasih Om, sebelum makan mari kita berdoa. Mohon untuk khidmat mengikuti. Terimakasih atas rezeki yang diberikan Tuhan. Semoga selalu ada keberkahan dari setiap makanan yang kita makan. Amin. Mari makan!”

Ketika asyik makan, bapaknya tiba-tiba bersuara, “jadi kapan bisa nikah?” agil tersedak. Ia mengambil minum di sebelah kanannya. Meminumnya. Kemudian menjawab dengan tergesa-gesa. “secepatnya Om”

“Bapak ini ingin meriah acara pernikahannya, kau harus siapkan ya gil!” Ucap ayahnya agil dengan aksen bataknya yang sudah agak luntur.

Agil kembali tersedak, ia berpikir, pertanyaan kapan nikah jawabannya mudah, pertanyaan lebih sulit adalah persiapan menikah. Biayanya dari mana? Ini yang menganggu agil setiap keinginan menikah muncul. Pertanyaan itu muncul lagi, dan kini lebih pelik karena situasi ekstrem. Ia menahan diri. Mengambil minum, menengguknya dua kali. “insya allah Om, nanti saya siapkan.”

“Mudah-mudahan royalty bukunya cukup untuk memenuhi keinginan ayahnya windi” harap agil dalam hati.

Kembali makan, agil semakin mantap. Ia mulai biasa. Tak lagi canggung seperti awal tadi. Tak terasa acara makan pun selesai. Ia membereskan makannya. Ia kembali ke teras rumah. Diikuti ayahnya windi. windi sedang mencuci piring di dapur bersama ibunya.

Hujan deras mengguyur kota bandung. Gemericik hujan membentuk plafon rumah menimbulkan suara keras nan kasar. Ayahnya dan agil sedang menikmati hujan dengan sedikit teh hangat di teras rumah. Seperti latar belakang, hujan memberikan simfoni pada obrolan mereka.

“Kau tau? Hidup ini tak mudah. Keputusan besar harus dipikirkan matang-matang” ayahnya membuka pembicaraan.

Agil menyimak dengan sungguh-sungguh.

“tidak sekedar bayangan indah. Persiapkan juga menghadapi hal terburuk. Kau tau hidup juga perlu asuransi. Ia meminum teh hangatnya sebentar, kemudian melanjutkan “Tidak sekedar asuransi kesehatan atau pekerjaan. Asuransi hidup berupa kemampuan mengatasi masalah juga diperlukan”

Agil mengangguk. Sesekali pandangannya menatap calon mertuanya itu. ia memahami betul apa yang dikatakan beliau.

Ayahnya menepuk bahunya agil. Kemudian kembali masuk ke dalam rumah. Agil yang sedari tadi duduk. Segera bangkit, ia mengambil buku yang tadi ia buka. Ia baca kembali lagi hingga windi datang dari dalam rumah. Sekarang ia memakai kacamata. manis sekali.

“asyik bener nih baca bukunya.”

Agil tertawa kecil. Ia menatap windi. suara harum strawberry kembali tercium. Ia menjadi ketagihan.
Windi duduk di samping agil. teras rumah yang sepi. Hujan membuat pengunjung rumah baca telah pulang. Sepi tak ada satupun yang datang.


Ia meninum air teh hangat tegukan terakhirnya. Pamit pulang kepada windi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar