BAB V
Windi jawabannya
Agil tiba di sebuah cafe. Tempat
ini penyedia kopi. Sebagai penyuka kopi, agil sering mampir ke sini. Agil sudah
berada di kafe sejak 30 menit lalu. Sore yang cukup mencerah. Suasana musik
instrumental mengalun memayungi ruangan kafe. Meraung meletakkan orang-orang
pada nostalgia. Meski sore hari, kafe sudah terlihat ramai. Pengunjung sangat
beragam. agil sendiri menunggu windi. Ia memesan terlebih dahulu.
Mengangkat tangan “mbak, saya
pesan dong?”
arahan dari pelayan yang sedang
mengantar pesanan menjawab “pesan saja langsung ke kasir.”
Ia berhenti mengangkat tangan. Ia
merasa malu. Konsep kafe yang dulu seperti itu. Sekarang menjadi berubah. Ia
sering mampir ke sini namun ia tak terlalu akrab. Ia memang suka menyendiri. Ia
segera bangkit berdiri. Ia mengangkat tas yang dibawanya. Merangkul ke bahunya.
Merapihkan rambutnya. Menuju ruang kasir.
“mau pesan apa mas agil?” seorang
kasir yang sudah dikenalnya menyapa.
“sepe- ” belum sempat agil
menjawab.
Kasir sudah memotongnya. “biar
aku tebak? Caramel machiatto?”
Agil memberikan tanda dua jempol
kepada kasir tersebut yang dibalas senyum manis.
“ditunggu ya gil.”
Setelah membayar pesanannya, agil
segera kembali ke tempat duduknya. Tiba di tempat duduknya, ia menaruh tas di
atas meja. mengambil telepon genggam dalam sakunya. Ia segera menghubungi
windi. Ia sepertinya sedang di perjalanan.
Agil menutup layar telepon
genggamnya. menyimpannya kembali. Kali ini ia bergegas ke tas besarnya. Ia
mengeluarkan laptop. mengeluarkan casannya. Ia bangkit mencari colokan untuk
menancapkan casannya. Ia membuka layar laptop setelah casannya tersambung.
Mengeluarkan aliran listrik yang memberi daya pada laptop. ia ingin melanjutkan
naskah bukunya.
Layar menampilkan menu home
ketika windi datang dengan sedikit tergopoh-gopoh. Ia kelelahan sepertinya.
Agil menawarkan minuman yang langsung windi minum dengan tergesa-gesa.
“maaf ya telat.” Kata windi
setelah dua tegukan air minum.
“Tidak apa-apa.” Agil membalas.
Agil berusaha maklum. Ia mengenal
windi. Windi adalah orang yang benci keterlambatan. Bahkan bagi dirinya
sendiri. Seumur hidupnya ia tak pernah terlambat. Naskah buku, selesai kuliah
hingga waktu ia membalas pesan. Ia tak suka terlambat.
Agil tersenyum menatap windi.
Windi segera berpaling. Windi kemudian memperbaiki kondisinya. Setelah pulih,
ia mulai tenang. Windi duduk dengan lembut di sebelah agil. Harum parfum
strawberry remaja lewat tanpa permisi melewati hidung agil. Ia hirup
lekas-lekas. Menghembuskan nafas panjang. Kenikmatan pikir agil dalam hati.
Masih dengan harum parfum
strawberry yang tercium. Agil menyuruh windi untuk memesan terlebih dahulu. Ia
menanyakan ingin pesan apa. Windi dengan suara lembutnya membalas green tea.
Ya windi tidak suka kopi. Menurut
agil itu cukup aneh. Seorang penulis tanpa kopi seperti matahari tanpa bumi.
Kurang lengkap. Ia sadari ini setelah semua penulis yang dia ketahui semuanya
penyuka minum kopi. Sebuah observasi absurd.
Agil yang memesan dan membayar
pesanan windi. ia bergegas kembali ke kasir. membiarkan laptop terbuka pada
layar yang memuat cerpennya. Windi diam-diam membaca naskahnya.
“Green tea mbak. Satu lagi!” agil
tersenyum.
“siap”
Cimahi sore hari akhir tahun
selalu seperti ini. Warna jingga di udara. Menyinari warga penyuka senja. Agil
segera kembali ke tempat duduknya. Ia memandang windi. Seperti ada yang berbeda
dari tatapan windi. Ia segera bertanya, “kenapa?” sangat pelan.
“kamu suka sama aku?” ucap windi
tiba-tiba. Seperti kejutan akhir tahun pengumuman. Tubuh agil berdegup kencang.
“kenapa?” windi sedikit gemetar. Ia memegang laptop agil yang dari tadi membuka
layar. Ia menunjukkan sebuah tulisan. Berisi sebuah ucapan-ucapan sayang pada
windi. Agil merasa kepergok. Ia menahan diri. Sedikit mengambil nafas. Ia
berbicara lamat-lamat. “iya, kamu.”
Agil menutup mukanya. Pipinya
memerah. Ia beralih pandangan. Kali ini pada jalanan yang lengang. Deru motor
yang jarang-jarang. Hembusan angin yang menerpa pohon. Ia tak berani menatap
windi. Windi tersenyum. Pipinya juga memerah. Windi dengan bergetar seakan
membalas. Ia hanya mengangguk. Tak mampu berkata aku juga suka sama kamu.
Agil menatap windi. Kali ini
lebih dalam. Suasana canggung yang terbangun segera ia alihkan. Kali ini ia
tawarkan senyum kepada windi. Windi membalasnya. Hingga akhirnya, mereka, windi
dan agil masing-masing tahu memendam perasaan yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar