Senin, 27 November 2017

Kapan Kawin Part V

BAB V

Windi jawabannya

Agil tiba di sebuah cafe. Tempat ini penyedia kopi. Sebagai penyuka kopi, agil sering mampir ke sini. Agil sudah berada di kafe sejak 30 menit lalu. Sore yang cukup mencerah. Suasana musik instrumental mengalun memayungi ruangan kafe. Meraung meletakkan orang-orang pada nostalgia. Meski sore hari, kafe sudah terlihat ramai. Pengunjung sangat beragam. agil sendiri menunggu windi. Ia memesan terlebih dahulu.

Mengangkat tangan “mbak, saya pesan dong?”

arahan dari pelayan yang sedang mengantar pesanan menjawab “pesan saja langsung ke kasir.”

Ia berhenti mengangkat tangan. Ia merasa malu. Konsep kafe yang dulu seperti itu. Sekarang menjadi berubah. Ia sering mampir ke sini namun ia tak terlalu akrab. Ia memang suka menyendiri. Ia segera bangkit berdiri. Ia mengangkat tas yang dibawanya. Merangkul ke bahunya. Merapihkan rambutnya. Menuju ruang kasir.

“mau pesan apa mas agil?” seorang kasir yang sudah dikenalnya menyapa.

“sepe- ” belum sempat agil menjawab.

Kasir sudah memotongnya. “biar aku tebak? Caramel machiatto?”

Agil memberikan tanda dua jempol kepada kasir tersebut yang dibalas senyum manis.

“ditunggu ya gil.”

Setelah membayar pesanannya, agil segera kembali ke tempat duduknya. Tiba di tempat duduknya, ia menaruh tas di atas meja. mengambil telepon genggam dalam sakunya. Ia segera menghubungi windi. Ia sepertinya sedang di perjalanan.

Agil menutup layar telepon genggamnya. menyimpannya kembali. Kali ini ia bergegas ke tas besarnya. Ia mengeluarkan laptop. mengeluarkan casannya. Ia bangkit mencari colokan untuk menancapkan casannya. Ia membuka layar laptop setelah casannya tersambung. Mengeluarkan aliran listrik yang memberi daya pada laptop. ia ingin melanjutkan naskah bukunya.

Layar menampilkan menu home ketika windi datang dengan sedikit tergopoh-gopoh. Ia kelelahan sepertinya. Agil menawarkan minuman yang langsung windi minum dengan tergesa-gesa.

“maaf ya telat.” Kata windi setelah dua tegukan air minum.
“Tidak apa-apa.” Agil membalas.

Agil berusaha maklum. Ia mengenal windi. Windi adalah orang yang benci keterlambatan. Bahkan bagi dirinya sendiri. Seumur hidupnya ia tak pernah terlambat. Naskah buku, selesai kuliah hingga waktu ia membalas pesan. Ia tak suka terlambat.

Agil tersenyum menatap windi. Windi segera berpaling. Windi kemudian memperbaiki kondisinya. Setelah pulih, ia mulai tenang. Windi duduk dengan lembut di sebelah agil. Harum parfum strawberry remaja lewat tanpa permisi melewati hidung agil. Ia hirup lekas-lekas. Menghembuskan nafas panjang. Kenikmatan pikir agil dalam hati.

Masih dengan harum parfum strawberry yang tercium. Agil menyuruh windi untuk memesan terlebih dahulu. Ia menanyakan ingin pesan apa. Windi dengan suara lembutnya membalas green tea.

Ya windi tidak suka kopi. Menurut agil itu cukup aneh. Seorang penulis tanpa kopi seperti matahari tanpa bumi. Kurang lengkap. Ia sadari ini setelah semua penulis yang dia ketahui semuanya penyuka minum kopi. Sebuah observasi absurd.

Agil yang memesan dan membayar pesanan windi. ia bergegas kembali ke kasir. membiarkan laptop terbuka pada layar yang memuat cerpennya. Windi diam-diam membaca naskahnya.

“Green tea mbak. Satu lagi!” agil tersenyum.
“siap”

Cimahi sore hari akhir tahun selalu seperti ini. Warna jingga di udara. Menyinari warga penyuka senja. Agil segera kembali ke tempat duduknya. Ia memandang windi. Seperti ada yang berbeda dari tatapan windi. Ia segera bertanya, “kenapa?” sangat pelan.

“kamu suka sama aku?” ucap windi tiba-tiba. Seperti kejutan akhir tahun pengumuman. Tubuh agil berdegup kencang. “kenapa?” windi sedikit gemetar. Ia memegang laptop agil yang dari tadi membuka layar. Ia menunjukkan sebuah tulisan. Berisi sebuah ucapan-ucapan sayang pada windi. Agil merasa kepergok. Ia menahan diri. Sedikit mengambil nafas. Ia berbicara lamat-lamat. “iya, kamu.”

Agil menutup mukanya. Pipinya memerah. Ia beralih pandangan. Kali ini pada jalanan yang lengang. Deru motor yang jarang-jarang. Hembusan angin yang menerpa pohon. Ia tak berani menatap windi. Windi tersenyum. Pipinya juga memerah. Windi dengan bergetar seakan membalas. Ia hanya mengangguk. Tak mampu berkata aku juga suka sama kamu.


Agil menatap windi. Kali ini lebih dalam. Suasana canggung yang terbangun segera ia alihkan. Kali ini ia tawarkan senyum kepada windi. Windi membalasnya. Hingga akhirnya, mereka, windi dan agil masing-masing tahu memendam perasaan yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar