BAB 2
Google saja tidak
mampu menjawab
Saatnya pulang. Waktu telah
menunjukkan pukul 13.30. seluruh siswa dan guru telah pulang. Agil tinggal
sendirian di kantor. Bersiap pulang juga.
Agil keluar kantor. Menggandeng tas
yang biasa ia bawa. Menuju parkiran mencari motor Suzuki tahun lama miliknya. Bajunya sudah
lusuh. Bagian lengannya ia gulung. Tiba di parkiran agil naik motor, menyalakannya. Suara desingan
cempreng knalpot motor menemani agil menuju jalan pulang.
Agil melenguh, tiba di rumah. Ia memarkirkan
motornya di teras rumahnya. Turun dari motor, dihadapannya kini adalah pintu
berwarna putih kusam berkarat. Agil memegang pegangan pintu, memutarnya hingga
suara “ceklek” tanda pintu terbuka terdengar. Agil mengucapkan salam. Masuk ke
dalam rumah. Menuju kamarnya. Menyimpan tasnya. Menjatuhkan badan ke tempat
tidur yang masih berantakan.
Agil mengambil handphone yang
tersimpan pada saku celananya. Mengecek sosial media twitter. Agil berencana
pergi nanti sore ke sebuah acara pertunjukkan standupcomedy. Agil mendeham,
tangannya menggaruk rambut kepala. Ketombe berterbangan. Agil menghiraukannya,
berhenti menggaruk kepala. Agil bangkit segera, menanggalkan bajunya, berganti
dengan baju untuk bermain. Kaus oblong dipadangkan dengan jeans warna hitam.
****
Agil tiba di cafe. Semi outdoor. Duduk
di kursi yang memanjang. Agil membuka tas, mengambil laptop dalam tasnya. Sesekali
melamun, menerawang, Agil membalik-bolak menu, memesan kopi Caffucino. Agil
kembali fokus. Berbarengan dengan pelayan yang mengantar kopinya, layar Microsoft
word terbuka. Agil berencana melanjutkan novel yang sedang dia buat. Sesekali dia
tersenyum kecil membayangkan adegan pada novelnya.
Agil melihat sekeliling, ketika
pada satu sudut. Ia tak sengaja melihat yanto bersama perempuan. Agil penasaran.
Dengan sedikit bersembunyi, ia memperhatikan yanto bersama perempuan tersebut. Menaruh
curiga, agil lebih intens mengamati yanto. Dari jarak sekitar lima meter agil mengamati
yanto. Draft tulisan yang tampil dilayar ia abaikan. Yanto duduk di dekat pintu
masuk, bergandengan tangan. Perempuan ini sepertinya seumur dengan yanto, namun
wajahnya terlihat muda. Wajahnya senyum sumringah. Manis dengan kulit yang kuning
langsat. Yanto yang tambun sangat kontras dengan perempuan itu yang kurus.
Duduk berhadap-hadapan, yanto
memesan minuman dan perempuan itu memesan makanan. Sambil menunggu pesanan
datang. Mereka berbicara, begitu asyik, dari sudut pandang agil. Obrolannya tak
terdengar. Terdistorsi oleh bisingnya musik dari cafe dan obrolan pengunjung
lainnya. Sesekali yanto memegang tangan perempuan itu.
Atas nama penasaran, agil menutup
layar laptopnya. Bangkit berdiri, menghampiri yanto yang sedang minum. Pesanannya
ternyata telah datang. Agil berdehem. Muka yanto memancarkan kaget. Seperti ada
rasa malu dalam dirinya. “lah, kok kamu di sini,” kata yanto, setelah mengatur kondisinya.
“ia lagi nulis” balas agil,
memperhatikan perempuan di samping agil. Yanto berkata, “eh, lupa! Kenalin, ini
agya. Pacarku, calon istriku,” berdehem, kata yanto. Tegas. Mata agil melotot,
dengus kesal tertahan dalam hati. “eh, kenalin, aku akbar! Teman kerjanya
yanto.” Menyalami perempuan yang bernama agya itu. Kemudian pamit kepada yanto
untuk balik ke mejanya.
Tiba di mejanya. Agil menjatuhkan
tubuhnya ke kursi empuk. Seakan ada beban entah darimana datangnya. Ia kemudian
berpikir, seperti kontemplatif. Seperti yang biasa mereka lakukan.
“Aku harus segera punya pasangan,
segera menuju jenjang pernikahan” begitu kata agil pikirnya.
Namun, kemana dia bisa menemukan
pasangan? Tak bisa asal memilih. Harus mencari, mendekati kemudian baru jadi
pasangan. Agil mengeluh, “kayaknya bakal lama nih”. Kemudian agil meragukan
dirinya. Akhirnya dia membuka laptop yang dari tadi dia tutup. Menutup mukanya
pakai tangan. Kemudian mengetikan sesuatu dalam laptop.
Hal-hal yang harus dipersiapkan ketika
ingin mendapatkan pacar. Google segera menemukan jawabannya.
Jawaban google sungguh
mengejutkan. Google tertulis, “internet not connection, masa soal ini saja
masih bertanya”.
Agil menepuk jidatnya yang lega. Kalau misalkan
ingin bermain futsal. Jidat agil mungkin bisa lapangannya. Kemudian agil Mengelap
keringat yang menempel pada jidatnya. Sepertinya mood menulis sedang turun bagi
agil. Ia segera bergegas menuju parkiran.
Sebelum itu, ia menutup laptopnya. Sekedar
menutup layar tanpa mematikan. agar nanti ketika moodnya kembali
tumbuh, agil tak perlu menyalakan laptopnya dari awal.
Tiba di parkiran, ia segera
memacu motornya kembali ke rumah setelah berpamitan dengan yanto yang masih
asyik bercengkrama dengan pasangannya.
*****
Agil tiba di rumah ketika ajakan
teman untuk bermain terlihat pada layar handphonenya. Agil menyapu layar. Membuka
aplikasi pesan.
From windi
Gil, ayo kita main. Di sini lagi
ada diskusi soal menulis.
Agil membalas teks tersebut.
Ntar saya nyusul. Saya baru
nyampe.
Yang dimaksud windi soal di sini
adalah seperti rumah. Rumah ini adalah semacam rumah baca. Di sini banyak
penyuka literasi berkumpul. Ia adalah penggagasnya. Agil suka bermain di sana. Sesekali
mengajarkan menulis. Meski pada dasarnya ia belum mampu menulis. Ia sekedar
sharing.
Agil lekas buru-buru berangkat
kembali. Belum sempat ia masuk ke dalam rumah. Jarang yang dekat dengan
rumahnya, membuat agil merasa tanggung jika harus ke rumah dulu.
Windi adalah teman dekat agil
sebenarnya. Ia mengenal agil sudah lama. Semenjak rencana membangun rumah baca
ada, agil membantu windi untuk mewujudkan keinginan itu. Windi sendiri bekerja
sebagai pengajar. Ia lulus kuliah dengan nilai terbaik. Kalau disbandingkan
dengan agil secara akademik. Bak bumi dan langit. Agil hanya mampu menulis, ia
jelek pada ilmu lain, terutama ilmu hitung.
Sebenarnya agil kagum kepada
windi, kalau tidak boleh disebut suka. Agil sering memperhatikan windi. Meski
dalam diamnya yang tidak tahu hingga kapan. Agil selalu merasa minder jika
dalam hatinya ingin menunjukkan perhatian pada windi. Namun akibat dari
kejadian dengan yanto di kafe tadi sore, agil akan memaksa diri untuk
menunjukkan perhatiannya.
Asyiik...dah
BalasHapus