BAB IV
Usaha Untuk Menjawab
Pertanyaan
Agil bangun tepat waktu. Ia
segera bergegas. Tiba di kantornya. Ia sudah tak sabar bertemu rendi.
“rendi! Agil memanggil rendi
dengan ramah. Ia bertemu di bawah cahaya sinar pagi. Sedikit basah akibat hujan
sisa semalam. Di sekolah bagian dekat pintu masuk. Bau besi karat yang
menyengat. Serta suara derap langkah siswa yang berduyun. “Agil!” Rendi balik
memanggil.
Ia tersenyum, saling bersalaman.
Rendi dan agil berjalan hampir berbarengan menuju kantornya. Tas selempang
tergantung di masing-masing punggungnya. “kamu tau gak? Yanto sudah punya
pacar?”
“Serius?” Mimik wajah rendi
mengerut.
Yanto tiba-tiba datang dari
belakang. Ia merangkul agil dan rendi. “Ada apa hayo?”
“Kamu sudah punya pacar?” rendi
bertanya pada yanto.
“sudah dong” ucap yanto bangga.
Suasana semakin riuh. Teman-teman
kantornya yang lain semakin ramai membicarakan. Mengucapkan selamat kepada
yanto. Semenjak mereka bertiga tiba di tempat kantornya. Yanto membuat kejutan.
Ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah kartu undangan pernikahan. Agil
kaget. Dalam hati ia berpikir semakin tidak karuan. Namun yang keluar adalah
ucapan selamat beserta rangkulan dari teman-temannya. Agil mengucapkan selamat.
Sambil tersenyum ia ambil surat undangannya. Ia simpan dalam tasnya. Ia segera
kembali bekerja. Semakin sering ia mendengar celetukan. Kapan nikah? Menyusul
yanto? Sesuatu yang membuat ia kesal.
Istirahat bekerja. Seperti biasa,
agil istirahat bersama rendi. Rendi yang telah cerita banyak tentang
pernikahan. Agil ingin bertanya perihal bagaimana cara mendapatkannya. Rendi
seakan merendahkan memberi tahu agil.
“pada akhirnya perempuan adalah
makhluk yang unik. Kamu harus terlihat unik di mata dia. Jadilah diri sendiri.
Beri perhatian yang lebih tentang hal kecil pada dia.” rendi menjelaskan
panjang lebar. Agil hanya mengangguk sebentar. Ia kemudian merenung. Ini adalah
momen yang berbeda. Agil menatap yanto yang sedang diberikan ucapan selamat
oleh teman-temannya. Rendi duduk di sebelah agil. Berbicara seperti khutbah
yang tak memiliki pendengar. Ia asyik sendiri. Rendi kemudian sadar, ia
berbicara sendiri. “sial malah melamun” Digoyangkannya tubuh agil. Badan agil
sedikit bergetar. Rendi telah membuyarkan lamunannya. Agil mendengus kesal,
namun cepat-cepat memperbaiki kondisi. Ia tersenyum, kagum pada sosok rendi
yang sudah merasakan kebahagiaan. Yanto segera menyusul. Ia memanggil yanto
untuk bergabung.
Kali ini, mereka bertiga duduk
kembali di warung kantin sekolah yang telah sepi. Sedikit kotor namun tertata
rapih. Kesan kumuh yang segera berkurang. “gimana persiapannya?” agil membuka
obrolan.
“lancar, seperti dibantu tuhan.”
Yanto menjadi sosok religius sekarang. Dulu sebelum dia menemukan jodohnya. Ia
sempat tak percaya tuhan. Sekarang bahkan ia selalu mengingat tuhan dengan
menyimpan tasbih di tangannya.
Rendi masih tersenyum, ia tahu
saat ini teman-temannya sedang berbahagia. Dia tidak mau merusak kebahagiaan
itu dengan menceritakan kehidupannya. Ia rendi sebagai kritikus nomor satu.
Selalu saja kritis tentang hidupnya. Sekali lagi, kali ini ia ingin
menceritakan keluhan hidupnya. Namun ia tahan, ia hanya tersenyum sesekali
mengangguk.
“semoga lancar ya,” rendi dan
agil mendoakan serempak.
*****
Agil menghembuskan nafas panjang setelah tiba di kamarnya
yang lusuh. Ia Nampak lelah dengan keringat menyatu dengan baju kerjanya.
Segera ia ganti baju, merebahkan dirinya pada kasur yang lembut. Hembusan nafas
panjang kedua terdengar. Ia segera membuka layar laptopnya. Bangkit dari kasur.
Ia duduk di depan meja belajar. Duduk melantai dengan posisi bersila. Layar
telah membuka penuh. Ia segera menyetel musik. Ia butuh hiburan. Suara musik
keluar setelah agil menekan tanda mulai. Suara lembut instrumental mengalun
dari speaker laptopnya. Agil hikmat mendengarkan. Hembusan nafas panjang yang
ketiga. Ia membuka tulisan draft kumpulan cerpennya. Naskah pertama buku
kumpulan cerpen yang telah ditunggu penerbit. Ia beralih pandangan. Ia mencari
telepon genggamnya. ia temukan pada saku celana kantornya yang tergantung pada
gantungan baju.
Ia bangkit berdiri. Mengambilnya. Menyimpannya di sebelah
laptop di atas meja. Ia buka layar telepon genggam dengan menggesernya.
Notifikasi datang bertubi-tubi. Ia segera membuka layarnya. Pesan editornya
terlihat. Ia baca. Sebelum sempat ia balas, dering telepon terdengar.
Editornya yang bernama wawan memanggil, agil mengangkat
teleponnya setelah mematikan suara dari laptopnya. Tanpa sempat berkata
apa-apa. wawan langsung berbicara panjang lebar dengan satu barisan nafas
seakan bertubi-tubi. bukumu harus segera terbit. Mana naskahnya sudah beres?
Wawan itu mendesak agil seperti teman kantornya. Ia hanya mengangguk. Berat
sekali untuk memastikan naskahnya kapan selesai.
Editornya menutup telepon. Agil semakin tertekan. Ia segera
mengalihkan perhatian. Menatap layar laptop. Membenahi hal-hal yang telah
ditandai oleh editornya. ia sedang menikmati proses itu ketika orangtuanya
datang. Ia melihat agil dan memperhatikan apa yang sedang dikerjakan. ibunya
agil membuat mood agil kembali turun. Ia segera menganggu agil dengan
pertanyaan yang tidak penting. Ia tahu, ia harus segera menyelesaikan ini. Agar
keinginan ia untuk menikah terpenuhi oleh dirinya. Ibunya pun memberi restu.
Ia kembali fokus. Ia menatap layar laptopnya kembali. Tak
terasa sudah cukup lama ia berada di depan layar laptop. ia melepaskan diri
dulu. Mengusap rambutnya yang berantakan. Ia menutup laptopnya. Bangkit kembali
mengambil handphonenya. Sepertinya ia perlu teman.
Ia mengajak windi bertemu di sebuah cafe. Ia perlu diskusi
mengenai naskah bukunya. Juga sekaligus mencari usaha untuk mendapatkan pacar.
Juga untuk makan. Ia belum makan dari semenjak istirahat di kantor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar