Senin, 27 November 2017

Kapan Kawin Part 4

BAB IV
Usaha Untuk Menjawab Pertanyaan

Agil bangun tepat waktu. Ia segera bergegas. Tiba di kantornya. Ia sudah tak sabar bertemu rendi.
“rendi! Agil memanggil rendi dengan ramah. Ia bertemu di bawah cahaya sinar pagi. Sedikit basah akibat hujan sisa semalam. Di sekolah bagian dekat pintu masuk. Bau besi karat yang menyengat. Serta suara derap langkah siswa yang berduyun. “Agil!” Rendi balik memanggil.

Ia tersenyum, saling bersalaman. Rendi dan agil berjalan hampir berbarengan menuju kantornya. Tas selempang tergantung di masing-masing punggungnya. “kamu tau gak? Yanto sudah punya pacar?”
“Serius?” Mimik wajah rendi mengerut.

Yanto tiba-tiba datang dari belakang. Ia merangkul agil dan rendi. “Ada apa hayo?”

“Kamu sudah punya pacar?” rendi bertanya pada yanto.

“sudah dong” ucap yanto bangga.

Suasana semakin riuh. Teman-teman kantornya yang lain semakin ramai membicarakan. Mengucapkan selamat kepada yanto. Semenjak mereka bertiga tiba di tempat kantornya. Yanto membuat kejutan. Ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah kartu undangan pernikahan. Agil kaget. Dalam hati ia berpikir semakin tidak karuan. Namun yang keluar adalah ucapan selamat beserta rangkulan dari teman-temannya. Agil mengucapkan selamat. Sambil tersenyum ia ambil surat undangannya. Ia simpan dalam tasnya. Ia segera kembali bekerja. Semakin sering ia mendengar celetukan. Kapan nikah? Menyusul yanto? Sesuatu yang membuat ia kesal.

Istirahat bekerja. Seperti biasa, agil istirahat bersama rendi. Rendi yang telah cerita banyak tentang pernikahan. Agil ingin bertanya perihal bagaimana cara mendapatkannya. Rendi seakan merendahkan memberi tahu agil.

“pada akhirnya perempuan adalah makhluk yang unik. Kamu harus terlihat unik di mata dia. Jadilah diri sendiri. Beri perhatian yang lebih tentang hal kecil pada dia.” rendi menjelaskan panjang lebar. Agil hanya mengangguk sebentar. Ia kemudian merenung. Ini adalah momen yang berbeda. Agil menatap yanto yang sedang diberikan ucapan selamat oleh teman-temannya. Rendi duduk di sebelah agil. Berbicara seperti khutbah yang tak memiliki pendengar. Ia asyik sendiri. Rendi kemudian sadar, ia berbicara sendiri. “sial malah melamun” Digoyangkannya tubuh agil. Badan agil sedikit bergetar. Rendi telah membuyarkan lamunannya. Agil mendengus kesal, namun cepat-cepat memperbaiki kondisi. Ia tersenyum, kagum pada sosok rendi yang sudah merasakan kebahagiaan. Yanto segera menyusul. Ia memanggil yanto untuk bergabung.

Kali ini, mereka bertiga duduk kembali di warung kantin sekolah yang telah sepi. Sedikit kotor namun tertata rapih. Kesan kumuh yang segera berkurang. “gimana persiapannya?” agil membuka obrolan.

“lancar, seperti dibantu tuhan.” Yanto menjadi sosok religius sekarang. Dulu sebelum dia menemukan jodohnya. Ia sempat tak percaya tuhan. Sekarang bahkan ia selalu mengingat tuhan dengan menyimpan tasbih di tangannya.

Rendi masih tersenyum, ia tahu saat ini teman-temannya sedang berbahagia. Dia tidak mau merusak kebahagiaan itu dengan menceritakan kehidupannya. Ia rendi sebagai kritikus nomor satu. Selalu saja kritis tentang hidupnya. Sekali lagi, kali ini ia ingin menceritakan keluhan hidupnya. Namun ia tahan, ia hanya tersenyum sesekali mengangguk.

“semoga lancar ya,” rendi dan agil mendoakan serempak.

*****
Agil menghembuskan nafas panjang setelah tiba di kamarnya yang lusuh. Ia Nampak lelah dengan keringat menyatu dengan baju kerjanya. Segera ia ganti baju, merebahkan dirinya pada kasur yang lembut. Hembusan nafas panjang kedua terdengar. Ia segera membuka layar laptopnya. Bangkit dari kasur. Ia duduk di depan meja belajar. Duduk melantai dengan posisi bersila. Layar telah membuka penuh. Ia segera menyetel musik. Ia butuh hiburan. Suara musik keluar setelah agil menekan tanda mulai. Suara lembut instrumental mengalun dari speaker laptopnya. Agil hikmat mendengarkan. Hembusan nafas panjang yang ketiga. Ia membuka tulisan draft kumpulan cerpennya. Naskah pertama buku kumpulan cerpen yang telah ditunggu penerbit. Ia beralih pandangan. Ia mencari telepon genggamnya. ia temukan pada saku celana kantornya yang tergantung pada gantungan baju. 
Ia bangkit berdiri. Mengambilnya. Menyimpannya di sebelah laptop di atas meja. Ia buka layar telepon genggam dengan menggesernya. Notifikasi datang bertubi-tubi. Ia segera membuka layarnya. Pesan editornya terlihat. Ia baca. Sebelum sempat ia balas, dering telepon terdengar.

Editornya yang bernama wawan memanggil, agil mengangkat teleponnya setelah mematikan suara dari laptopnya. Tanpa sempat berkata apa-apa. wawan langsung berbicara panjang lebar dengan satu barisan nafas seakan bertubi-tubi. bukumu harus segera terbit. Mana naskahnya sudah beres? Wawan itu mendesak agil seperti teman kantornya. Ia hanya mengangguk. Berat sekali untuk memastikan naskahnya kapan selesai.

Editornya menutup telepon. Agil semakin tertekan. Ia segera mengalihkan perhatian. Menatap layar laptop. Membenahi hal-hal yang telah ditandai oleh editornya. ia sedang menikmati proses itu ketika orangtuanya datang. Ia melihat agil dan memperhatikan apa yang sedang dikerjakan. ibunya agil membuat mood agil kembali turun. Ia segera menganggu agil dengan pertanyaan yang tidak penting. Ia tahu, ia harus segera menyelesaikan ini. Agar keinginan ia untuk menikah terpenuhi oleh dirinya. Ibunya pun memberi restu.

Ia kembali fokus. Ia menatap layar laptopnya kembali. Tak terasa sudah cukup lama ia berada di depan layar laptop. ia melepaskan diri dulu. Mengusap rambutnya yang berantakan. Ia menutup laptopnya. Bangkit kembali mengambil handphonenya. Sepertinya ia perlu teman.

Ia mengajak windi bertemu di sebuah cafe. Ia perlu diskusi mengenai naskah bukunya. Juga sekaligus mencari usaha untuk mendapatkan pacar. Juga untuk makan. Ia belum makan dari semenjak istirahat di kantor.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar