BAB VIII
Gagal menemukan
jawaban
Agil memacu motornya membelah
kota bandung yang dingin. Sisa hujan membuat jalanan sedikit basah. Terdapat genangan
di beberapa titik. Ia berusaha menghindar dengan mengemudikan motor dengan
zig-zag. Cukup berbahaya, ia berhenti melakukannya setelah ditegur oleh
pengendara lain. Setelah itu, ia berjalan lambat. Seandainya ada lomba balap,
kura-kura akan menang jika melawan agil. ia membuat kagok pengemudi di
belakangnya. Ia menepi. Berpindah ke lebih pinggir sambil mengeluh maunya apa
ini pengguna jalan. Saya salah mulu.
Dengan segala drama tidak penting
di jalan, ia tiba di rumahnya. Sebelum tidur, yanto menelepon. Ia seperti
sedang memiliki masalah. Agil mengangkat teleponnya. Ia segera bangkit dan
memasangkan earphone pada teleponnya.
“ada apa?”
“aku bingung mencari uang buat
menikah” yanto langsung berbicara tanpa basa basi.
“jangan khawatir, nanti juga akan
ada jawabannya.” Agil berusaha menenangkan yanto.
“besok hari terakhir down payment
catering. Aku gimana cara bayarnya?”
“pinjam sajalah dulu!”
“aku tak mau, malu nanti kalau
semua tahu.”
“udah besok saja di kantor,
cerita sama teman-teman. Nanti mendukung kok. Kan mereka juga yang mendesak
kamu menikah. Pasti mau nyumbang kok." Agil menguap. “aku ngantuk”
“ya udah. Besok saja dah.” yanto sedikit cemberut.
Agil menutup teleponnya. Ia
mencabut earphonenya dari telepon genggam. Ia simpan telepon dan earphonenya di
meja yang dekat dengan kasurnya. Ia segera membaringkan tubuh. Kemudian memejamkan
mata.
*******
Agil sudah di ruang kerjanya
ketika yanto datang dengan tertunduk lesu. Sepertinya ia kurang tidur. Kebingungan
tadi malam sepertinya tak sembuh dengan sebuah harapan besok akan selesai dari
agil. mungkin ia mengadu pada tuhannya. Entahlah. Religiusnya seperti tak
membantu. Mungkin saja ia berdoa dengan salah. Agil berasumsi liar sendiri.
Sambutan hangat berusaha agil
beri agar mood yanto naik dan tumbuh. Yanto sedikit mengubah mimik wajahnya. Ia
menyeringai sebentar untuk kemudian kembali lesu. Kini agil mengajak yanto
tertawa. Teman-temannya menyadari ini, berusaha juga membangun mood yanto menjadi
baik.
Pekerjaan hari ini menumpuk. Ia tak
sempat lagi memperhatikan yanto. Ia sibuk dengan pekerjaannya. Hingga istirahat
tiba. Yanto cerita semuanya.
Ia tertunduk lesu ketika ternyata
keinginan mertuanya susah ia penuhi. Ia sadar keinginan menikah tak bisa
terlaksana apabila modalnya tidak ada. Agya yang ingin sederhana saja ternyata
tak sepaham dengan orangtuanya.
Yanto menceritakan malam
sebelumnya.
*****
Yanto hari itu sedang ada di
rumah agya. Ia ingin berbicara tentang persiapan pernikahannya. Ia khawatir
akan biaya resepsi. Maka ia mampir ke rumah agya. Ia ingin mendengar bagaimana
konsep pernikahan yang diinginkan mertuanya.
ia sudah berada di ruang tamu. Tersedia
minuman di meja berbentuk persegi panjang bening. Duduk berhadapan dengan
orangtuanya. Agya berada di sampingnya.
“bagaimana persiapan
pernikahannya? Sudah beres?” kata ayahnya agya.
“sudah beres, Om!”
“sepertinya bapak tak cukup puas
dengan rencana kamu. Terlalu sederhana. Coba dibenahi.” Ayah agya dengan
sedikit gertakan berbicara sambil mengelus-elus rambutnya.
“terutama ini, soal biaya
catering.” Ayah agya melanjutkan. “kita harus memperbanyak stand dan kualitas
makanan yang tersedia. Kalau hanya segini kurang”
yanto menimbang-nimbang. Ia terkekeh
sedikit, menggaruk kepalanya yang tak gatal. “gimana ya pak? Saya bingung. Sepertinya
tidak bisa?”
“kamu malah ketawa! Saya serius!”
seru Ayah agya.
Gemetar tubuh yanto. Ia tak
berani membantah. Ia hanya bisa tertunduk. Merasa bersalah.
“kalau kau tak mampu penuhi. Pernikahan
ini lebih baik ditunda dulu saja.” tegas ayah agya.
Yanto sedikit menengadahkan
kepala. Menatap ayah agya. Mengangguk pelan. Agya di sampingnya meneteskan air
mata. Hanya satu tetes mengalir dari pelipis matanya yang menggunakan eye
shadow.
Yanto pulang. Ia menanggung beban
berat. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia kembali pulang dengan tertunduk lesu. Ia
bersedih. Ia mengigit bibir bawahnya. Menahan air mata agar tidak keluar. Laki-laki
tak pantas menangis batinnya dalam hati. Hujan menerpa bandung. Ia tak mampu
menahan air matanya. Ia tumpahkan. Tak malu lagi. Hujan menjadi pengalih
perhatian bagi air matanya yang jatuh. Ia punya alasan kuat untuk menyangkal
apabila ia diketahui menangis. Ini hanya tetesan air hujan.
Ia seka air mata yang jatuh. Badan
tambunnya membuat air jatuh ketubuhnya lebih banyak. Rintik hujan dan air
matanya menyatu. Masuk ke dalam mulutnya. Rasanya seperti kepahitan tak jadi
menikah. Ia ludahkan air yang masuk mulutnya. Seakan membuang jauh kepahitan
yang menimpanya.
Tiba di rumahnya. Air mata telah mengering.
Ia bergegas masuk ke rumah. Membersihkan diri. Menghangatkan tubuh. Mengganti pakaian.
Tak sabar menelepon sahabatnya. Agil.
*****
“kamu nangis?” agil bertanya hal
yang tak penting. Ia tahu itu hanya akan membuat yanto membantah. Namun,
akal nakalnya mendesak mengeluarkan
pertanyaan itu.
“tidaklah.” Yanto menggeleng. “Itu
hanya sebuah dramatisir.”
Agil tertawa. Ia tak berani
membayangkan apabila itu menjadi kenyataan. Badan tambun dan menangis adalah
dua konsep yang berlawanan. Seperti oksimoron. Politisi dan kepedulian rakyat.
Agil menutup mulut. Berusaha menahan
ketawa. Agil merangkul yanto. Memberi dukungan pada sahabatnya itu.
Yanto mengangguk. yanto sudah
membayar DP untuk catering. Namun kurang, ia tak punya uang lagi untuk mengubah
pilihan catering yang sesuai dengan keinginan orangtua agya. Kalau tak dipenuhi
DP itu tak bisa diambil. Ia pasrah. Sudah tak menjadi menikah. Uang DP pun musnah.
yanto membentuk rima yang tak disengaja.
Agil berkata, seakan mendengar
ucapan yanto dalam hatinya. Seperti dua saudara kembar yang merasakan ikatan
batin . “tenang nanti dibantu.” Ucap agil mantap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar