Senin, 27 November 2017

Kapan kawin Part VIII

BAB VIII

Gagal menemukan jawaban

Agil memacu motornya membelah kota bandung yang dingin. Sisa hujan membuat jalanan sedikit basah. Terdapat genangan di beberapa titik. Ia berusaha menghindar dengan mengemudikan motor dengan zig-zag. Cukup berbahaya, ia berhenti melakukannya setelah ditegur oleh pengendara lain. Setelah itu, ia berjalan lambat. Seandainya ada lomba balap, kura-kura akan menang jika melawan agil. ia membuat kagok pengemudi di belakangnya. Ia menepi. Berpindah ke lebih pinggir sambil mengeluh maunya apa ini pengguna jalan. Saya salah mulu.

Dengan segala drama tidak penting di jalan, ia tiba di rumahnya. Sebelum tidur, yanto menelepon. Ia seperti sedang memiliki masalah. Agil mengangkat teleponnya. Ia segera bangkit dan memasangkan earphone pada teleponnya.

“ada apa?”

“aku bingung mencari uang buat menikah” yanto langsung berbicara tanpa basa basi.

“jangan khawatir, nanti juga akan ada jawabannya.” Agil berusaha menenangkan yanto.

“besok hari terakhir down payment catering. Aku gimana cara bayarnya?”

“pinjam sajalah dulu!”

“aku tak mau, malu nanti kalau semua tahu.”

“udah besok saja di kantor, cerita sama teman-teman. Nanti mendukung kok. Kan mereka juga yang mendesak kamu menikah. Pasti mau nyumbang kok." Agil menguap. “aku ngantuk”

“ya udah. Besok saja dah.” yanto sedikit cemberut.

Agil menutup teleponnya. Ia mencabut earphonenya dari telepon genggam. Ia simpan telepon dan earphonenya di meja yang dekat dengan kasurnya. Ia segera membaringkan tubuh. Kemudian memejamkan mata.
*******

Agil sudah di ruang kerjanya ketika yanto datang dengan tertunduk lesu. Sepertinya ia kurang tidur. Kebingungan tadi malam sepertinya tak sembuh dengan sebuah harapan besok akan selesai dari agil. mungkin ia mengadu pada tuhannya. Entahlah. Religiusnya seperti tak membantu. Mungkin saja ia berdoa dengan salah. Agil berasumsi liar sendiri.

Sambutan hangat berusaha agil beri agar mood yanto naik dan tumbuh. Yanto sedikit mengubah mimik wajahnya. Ia menyeringai sebentar untuk kemudian kembali lesu. Kini agil mengajak yanto tertawa. Teman-temannya menyadari ini, berusaha juga membangun mood yanto menjadi baik.

Pekerjaan hari ini menumpuk. Ia tak sempat lagi memperhatikan yanto. Ia sibuk dengan pekerjaannya. Hingga istirahat tiba. Yanto cerita semuanya.

Ia tertunduk lesu ketika ternyata keinginan mertuanya susah ia penuhi. Ia sadar keinginan menikah tak bisa terlaksana apabila modalnya tidak ada. Agya yang ingin sederhana saja ternyata tak sepaham dengan orangtuanya.

Yanto menceritakan malam sebelumnya.
*****
Yanto hari itu sedang ada di rumah agya. Ia ingin berbicara tentang persiapan pernikahannya. Ia khawatir akan biaya resepsi. Maka ia mampir ke rumah agya. Ia ingin mendengar bagaimana konsep pernikahan yang diinginkan mertuanya.

ia sudah berada di ruang tamu. Tersedia minuman di meja berbentuk persegi panjang bening. Duduk berhadapan dengan orangtuanya. Agya berada di sampingnya.

“bagaimana persiapan pernikahannya? Sudah beres?” kata ayahnya agya.

“sudah beres, Om!”

“sepertinya bapak tak cukup puas dengan rencana kamu. Terlalu sederhana. Coba dibenahi.” Ayah agya dengan sedikit gertakan berbicara sambil mengelus-elus rambutnya.

“terutama ini, soal biaya catering.” Ayah agya melanjutkan. “kita harus memperbanyak stand dan kualitas makanan yang tersedia. Kalau hanya segini kurang”

yanto menimbang-nimbang. Ia terkekeh sedikit, menggaruk kepalanya yang tak gatal. “gimana ya pak? Saya bingung. Sepertinya tidak bisa?”

“kamu malah ketawa! Saya serius!” seru Ayah agya.

Gemetar tubuh yanto. Ia tak berani membantah. Ia hanya bisa tertunduk. Merasa bersalah.

“kalau kau tak mampu penuhi. Pernikahan ini lebih baik ditunda dulu saja.” tegas ayah agya.

Yanto sedikit menengadahkan kepala. Menatap ayah agya. Mengangguk pelan. Agya di sampingnya meneteskan air mata. Hanya satu tetes mengalir dari pelipis matanya yang menggunakan eye shadow.
Yanto pulang. Ia menanggung beban berat. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia kembali pulang dengan tertunduk lesu. Ia bersedih. Ia mengigit bibir bawahnya. Menahan air mata agar tidak keluar. Laki-laki tak pantas menangis batinnya dalam hati. Hujan menerpa bandung. Ia tak mampu menahan air matanya. Ia tumpahkan. Tak malu lagi. Hujan menjadi pengalih perhatian bagi air matanya yang jatuh. Ia punya alasan kuat untuk menyangkal apabila ia diketahui menangis. Ini hanya tetesan air hujan.

Ia seka air mata yang jatuh. Badan tambunnya membuat air jatuh ketubuhnya lebih banyak. Rintik hujan dan air matanya menyatu. Masuk ke dalam mulutnya. Rasanya seperti kepahitan tak jadi menikah. Ia ludahkan air yang masuk mulutnya. Seakan membuang jauh kepahitan yang menimpanya.

Tiba di rumahnya. Air mata telah mengering. Ia bergegas masuk ke rumah. Membersihkan diri. Menghangatkan tubuh. Mengganti pakaian. Tak sabar menelepon sahabatnya. Agil.

*****

“kamu nangis?” agil bertanya hal yang tak penting. Ia tahu itu hanya akan membuat yanto membantah. Namun, akal  nakalnya mendesak mengeluarkan pertanyaan itu.
“tidaklah.” Yanto menggeleng. “Itu hanya sebuah dramatisir.”
Agil tertawa. Ia tak berani membayangkan apabila itu menjadi kenyataan. Badan tambun dan menangis adalah dua konsep yang berlawanan. Seperti oksimoron. Politisi dan kepedulian rakyat.
Agil menutup mulut. Berusaha menahan ketawa. Agil merangkul yanto. Memberi dukungan pada sahabatnya itu.
Yanto mengangguk. yanto sudah membayar DP untuk catering. Namun kurang, ia tak punya uang lagi untuk mengubah pilihan catering yang sesuai dengan keinginan orangtua agya. Kalau tak dipenuhi DP itu tak bisa diambil. Ia pasrah. Sudah tak menjadi menikah. Uang DP pun musnah. yanto membentuk rima yang tak disengaja.

Agil berkata, seakan mendengar ucapan yanto dalam hatinya. Seperti dua saudara kembar yang merasakan ikatan batin . “tenang nanti dibantu.” Ucap agil mantap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar