Kalau dalam penulis non fiksi, kau tahu, sungguh berbahaya
apabila data menjadi fitnah. Mengeluarkan pendapat harus memiliki data yang
akurat. Asumsi yang tepat. Bukannya ngawur, memiliki cacat logika dan
menimbulkan fitnah.
Riset sangat diperlukan. Namun, riset adalah pekerjaan yang
sangat membuat malas. Riset memerlukan waktu panjang, ketelitian dalam membaca
dan menganalisis data. Sungguh sebuah pekerjaan yang membuat malas.
Namun, kalau tidak seperti itu, tulisanmu hanya akan menjadi
sampah. Hanya akan menjadi sumber buruk bagi dunia literasi Indonesia.
Kalian pernah mengalami keanehan tidak, ketika kamu
menuliskan istilah yang tidak umum, terus kamu berasumsi makna istilah tersebut
adalah A, sementara menurut KBBI adalah B. Itu sudah cukup membuat kita menjadi
olokan bagi para pembaca kita. Itu tentu saja tidak ingin terjadi pada kita,
untuk itu kita harus selalu riset, harus selalu memahami setiap istilah tidak
umum tersebut sebelum benar-benar kita posting.
Sampaikanlah meski hanya satu ayat. Pesan ini benar, namun
tak sepenuhnya benar. Karena di sisi lain, satu ayat ini harus mampu
dipertanggungjawabkan. Ini yang terkadang luput menjadi perhatian. Sekarang,
dengan agenda utama media adalah kita. Kita adalah media. Tentu, kita harus
mampu berpikir untuk mempertanggungjawabkan setiap pernyataan, setiap ayat yang
kita sampaikan.
Terkadang kekeraskepalaan kita terhadap suatu ayat membunuh
kebenaran yang sebenarnya. Kita sering sekali melihat berbagai perbedaan
pendapat. Kita sering menyebarkan berita. Berita dari sosial media yang kita
dapatkan. Itu, kalau dengan kekeraskepalaan kita, hanya akan menjadi sebuah
berita yang bohong, yang menjadi gangguan bagi orang lain, yang menjadi sumber
perpecahan.
Maka, hentikan kekeraskepalaan kita terhadap suatu ayat atau
kepercayaan. Kita mulai dengan menganalisa, mempertanyakan setiap informasi
yang kita dapat. Sebelum kita sebarkan kepada orang lain.
Selain itu, sebuah pernyataan atau ayat, memiliki apa yang
disebut dengan istilah sensitifitas. suatu ayat atau pernyataan memiliki resiko
apabila tersampaikan. Resikonya bisa berupa ketidakpercayaan, berupa
ketidaksukaan, atau malah hingga permusuhan. Kenapa? Karena dalam setiap bahasa
ada rasa, setiap berita ada hak privasi. Contohnya, pemberitaan tentang suatu
kecelakaan. Kalau kita mendapatkan berita suatu kecelakaan, kita harus memahami
bahwa sensitif apabila tayangan korban ditampilkan secara eksplisit. Kita
berikan sebuah sensor kepada wajah atau mungkin bentuk tubuh korban. Itu
mengurangi resiko sebuah berita menjadi usaha kebencian.
Kenapa? Misalkan begini, kamu sering lihat korban akibat
perang. Gambar tentang kengerian ambil contoh korban perang Israel dan
Palestina. Di situ sering ditampilkan korban dengan narasi betapa kejamnya
Israel. Tentu saja, ini menimbulkan kebencian terhadap Israel. Sebaiknya
narasinya diubah, cerita tentang korban kejahatan tidak perlu ditayangkan. Kembalikan kepada sisi kemanusiaan. Tentang
kehidupan korban di pengungsian, tentang apa yang dibutuhkan. Tentu saja, yang
timbul adalah kepedulian dan kemanusiaan.
Contoh lainnya, pemberitaan tentang tersebarnya video sex
seseorang. Kita selalu menghukum mereka sebagai penjahat dengan menceritakan
kehidupan mereka. Mempermalukan mereka. Padahal itu tidak patut, kenapa? karena
begini, perempuan itu selalu menjadi korban. Perempuan dalam video tersebut
hidupnya menjadi terganggu. Bisa jadi ia depresi, stress atau bahkan bunuh
diri. Itu lebih mengerikan. Justru yang sebaiknya kita beritakan adalah, jangan
sesekali melakukan hal tersebut.
Lagipula, itu adalah ranah privat, bukan ranah publik. Itu
adalah hak mereka. Terserah mereka untuk melakukan itu. saya jujur saja, tidak
merasa terganggu. Jadi saya tidak masalah dengan hal tersebut. Namun tentu
saja, saya tidak sepenuhnya benar. Dan sebagaimana manusia biasanya. Saya takut
sekali menulis dengan kesan menggurui, karena itu berbahaya.
Namun sekali lagi, sampaikan walau satu ayat dengan
bertanggungjawab.
#ODOP4
#kelasnonfiksi
Analisanya mantap bang. Terkadang sebuah pemberitaan bisa membuat kita beranggapan berlebihan, meski hanya narasi sebuah foto
BalasHapus