Minggu, 15 Oktober 2017

akibat kesombongan (adaptasi kisah legenda situ bagendit)

Ini adalah sebuah cerita rakyat dari tanah sunda yang akan diubah endingnya berdasarkan imajinasi yang saya pikirkan. Sebelumnya saya minta maaf apabila dalam penyajian cerita ini terdapat hal-hal yang tak kalian suka atau membuat kalian tersinggung. Sekarang mari kita nikmati ceritanya.

Cerita Legenda Situ Bagendit

Pada zaman dahulu kala, di sebelah utara kota Garut, terdapat sebuah desa yang penduduknya kebanyakan adalah petani. Karena tanah di desa itu sangat subur dan tidak pernah kekurangan air, maka sawah-sawah mereka selalu menghasilkan padi yang berlimpah ruah. Namun meski begitu, para penduduk di desa itu tetap miskin kekurangan. Hal tersebut disebabkan oleh ulah seorang tengkulak bernama Nyai Bagendit.

Hari masih sedikit gelap dan embun masih bergayut di dedaunan, namun para penduduk sudah bergegas menuju sawah mereka. Hari ini adalah hari panen. Mereka akan menuai padi yang sudah menguning dan menjualnya kepada Nyai Bagendit.

Nyai Bagendit adalah orang terkaya di desa itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus cukup menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di desa itu. Ya! Seluruh petani. Dan bukan dengan sukarela para petani itu menjual hasil panennya kepada Nyai Bagendit. Mereka terpaksa menjual semua hasil panennya dengan harga murah kalau tidak ingin cari perkara dengan centeng-centeng suruhan wanita itu. Lalu jika pasokan padi mereka habis, mereka harus membeli dari Nyai Bagendit dengan harga yang melambung tinggi.

*******

Sementara itu seorang petani bernama asep akan berangkat ke sawah bersama temannya.
"Wah kapan ya nasib kita berubah?" ujar asep kepada temannya yang bernama usro tersebut.

"Tidak tahan saya hidup seperti ini", keluh asep. Dengan menunduk, asep melanjutkan. “Kenapa yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?" lintah darah yang asep maksud adalah nyai bagendit.
"Sssst, jangan keras-keras, nanti ada yang dengar!"kata usro, sambil menaruh telunjuk ke bibirnya. "Kita mah harus sabar!”, usro berhenti sejenak, seakan merenung pasrah, sebelum kemudian melanjutkan. “Nanti juga akan datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang suka berbuat aniaya pada orang lain. Tuhan tidak pernah tidur!", ujar usro, tegas.



**********

Sementara itu Nyai Bagendit sedang memeriksa lumbung padinya.

"Barja." kata Nyai Bagendit pada centengnya. "Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?"

"Beres Nyi." jawab Barja, sambil menepuk-nepuk tangannya yang kotor "Lumbung sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah tak muat."

"Ha ha ha ha...! Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya!" Kata Nyai Bagendit tertawa senang. Dengan angkuh, nyai bagendit melanjutkan "Awasi terus Para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!"

Benar saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak yang sudah mulai menderita kelaparan. Sementara Nyai Bagendit selalu berpesta pora dengan makanan-makanan mewah di rumahnya.

"Aduh Usro, persediaan beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli beras ke Nyai Bagendit." keluh Asep kepada Usro, teman petaninya. "Kata tetangga harganya sekarang lima kali lipat dibanding saat kita jual dulu. Bagaimana ini, Ro?"

Pada suatu siang yang panas, dari ujung desa nampak seorang nenek yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk dengan tatapan penuh iba.

"Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri." pikir si nenek. Dia berjalan mendekati asep yang sedang menumbuk padi.

"Permisi! Saya numpang tanya," kata si nenek.

"Ya, Nek ada yang bisa saya bantu?" jawab asep yang sedang menumbuk padi tersebut.

"Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?"

"Oh, maksudnya rumah Nyai Bagendit?" kata asep. Berhenti menumbuk padi kemudian berdiri tegap menghadap sang nenek. "Sudah dekat, Nek.” Kata asep. Dengan memainkan jari jempolnya ke arah yang dituju asep melanjutkan. “Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan, lalu belok kiri. Nanti akan terlihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya.”
 “Memang nenek ada perlu apa sama Nyai Bagendit?", Tanya asep, dengan keheranan.

Dengan senyum yang sedikit hadir, nenek tersebut menjawab, “saya mau minta sedekah”.

"Ah percuma saja, nek, tidak akan memberi dia mah.

Kalau nenek lapar, makanlah di rumah saya saja." Kata asep, menyarankan.

"Tidak usah, terima kasih" jawab si nenek. Diam sebentar. Kemudian melanjutkan. "Saya hanya mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah.

"Oh, begitu nek, silahkan nek" kata asep dengan muka yang sedikit heran. Kenapa nenek tersebut ingin tahu reaksi nyai bagendit?

******

Di tempat lain, Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula para centengnya. hingga tiba si nenek di depan rumah Nyai Endit dan langsung dihadang oleh para centeng.

"Hei pengemis tua! Cepat pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah ini kotor terinjak kakimu!" bentak centeng.

"Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan,"

"Apa peduliku," bentak centeng. "Kalau mau makan ya beli, jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret."

Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya. "Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Bagendiiit ...!" teriak si nenek.

Centeng-centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.

"Siapa sih yang berteriak-teriak di luar," ujar Nyai Endit. "Mengganggu orang makan saja!"

"Nek, siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?" bentak Nyai Bagendit.

"Saya hanya mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan,"kata nenek.

"Tidak ada makanan di sini! Cepat pergi, nanti rumahku kotor."

Si nenek pun pergi meninggalkan rumah tersebut. Dibalik punggungnya nyai bagendit dengan centeng-centengnya meledek dan berlagak angkuh kepada si nenek.

Nenek tersebut tidak merasa terhina, tidak merasa sedih. Justru tersenyum seakan ada hal yang indah yang hadir pada dirinya sendiri.

Nenek tersebut melanjutkan perjalanan hingga kembali ke tempat asep menumbuk padi.

“nenek sudah kembali” kata asep, ketika melihat nenek berjalan dengan tersenyum. “bagaimana nek? Dikasih sama nyai bagenditnya?”

Dengan mendekati asep, nenek pun berkata, “tidak, sep. saya malah dimarahi”.
“tuh kan kata saya juga apa nek, tidak akan dikasih”.

“tapi kok nenek malah tersenyum?” Tanya asep, heran.

“Nenek tersenyum karena nenek hanya bisa seperti itu, sep! kalau misalnya nenek tadi cemberut apa masalahnya selesai, sep? tidak bukan sep? jadi ya nenek tersenyum saja”.

“Lebih baik sekarang kita buat sesuatu sep”, ujar nenek, melanjutkan.

“maksudnya nenek?”

“Iya sep”, sambil duduk di pinggir sawah membelakangi jalan. asep ikut duduk disampingnya.

“kita harus melawan nyai bagendit itu sep!” ujar nenek melanjutkan.

“bagaimana caranya, nek?”

“Coba kamu panggil dulu teman kamu yang sedang menumbuk padi bersama kamu tadi”

“siap nek”, kata asep, mengiyakan. 

Sambil melambaikan tangan, Usro!, teriak asep kepada temannya yang sedang menumbuk padi di tengah sawah. Usro melihat lambaian tangan tersebut, kemudian datang menghampiri asep.

“ada apa sep?” kata usro, setelah tiba di depan asep, berdiri menghadap jalan.

“sini duduk dulu”, asep menarik tangan usro menyuruh untuk duduk di sebelah asep.

“gini!” kata asep melanjutkan. “kata nenek, sambil menunjuk ke arah nenek, kita harus berbuat sesuatu untuk melawan nyai bagendit”.

“oh, iya nek! Betul begitu?” kata usro, menanyakan pada nenek yang berada di sebelah kanan asep.
“betul ro, kita harus melawan kesombongan nyai bagendit itu”

“tapi bagaimana caranya nek?”

“begini, kita harus mengumpulkan semua warga, kita harus berusaha bersama-sama melawan penindasan ini”

Dengan mimik serius, nenek tersebut menatap usro dan asep kemudian berkata, “kita kumpulkan semua warga, bawa alat-alat pertanian yang ada. Kita bawa malam ini ke rumah nyai bagendit.”

Asep dan usro mengangguk bersama-sama.

Kemudian nenek melanjutkan. “setelah sampai ke rumah nyai bagendit, kita segera melemparkan semua alat-alat pertanian kita, kemudian kita pulang. Biarkan mereka yang mengelola pertanian kita. Kita sebaiknya mengikhlaskannya dan pergi ke tempat lain”. kata nenek, menjelaskan panjang lebar rencananya dengan sedikit berbisik.

Setelah itu, asep dan usro segera memanggil semua warga. Mereka ketuk pintu rumah-rumah warga dan menjelaskan rencananya. Hingga akhirnya mereka berhasil mengumpulkan seluruh warga desa dan bersiap ke rumah nyai bagendit.

Malam telah tiba, nenek beserta asep dan usro serta seluruh warga berangkat bersama-sama menuju rumah nyai bagendit. Mereka bergerak bersama-sama dengan amarah yang memancar dari wajah mereka masing-masing.

Tiba di rumah nyai bagendit, asep dan usro segera memerintahkan warga untuk melemparkan alat-alat pertanian yang mereka punya sambil berteriak, “silahkan nyai, kami sudah capek mengurus sawah dengan hasil yang sedikit. Silahkan nyai urus sendiri sawah-sawah kami. Kami akan pergi meninggalkan desa ini.”

Mendengar suara gaduh di luar, nyai beserta centeng-centengnya yang sedang tertidur segera bergegas keluar, menemui sumber suara.

Nyai kaget mendengar warga pada menyerang dirinya. Tiba-tiba muncul rasa takut dalam dirinya. Hanya sebentar, untuk kemudian nyai menata hatinya dan segera memerintahkan centeng-centeng untuk menyerang warga.

Warga bergegas berlari tunggang langgang. Mencari keselamatan. Kabur meninggalkan desa tersebut.
Centeng-centeng tidak berhasil mencegah dan menangkap warga hingga tiba keesokan harinya.

Beberapa tahun kemudian, Bisnis nyai bagendit semakin terpuruk  karena kesulitan mengelola sawah dan kekurangan pembeli hingga tanpa sadar nyai membuat kesalahan dalam pengelolaan irigasi dan menyebabkan sebuah banjir bandang yang menenggelamkan desa tersebut.

Asep, usro dan warga lain beserta nenek hidup damai di tempat lain menjadi pengelola hutan dan nenek tersebut menjadi penasihat desa hingga meninggal dunia. Ternyata nenek tersebut adalah seorang pengembara yang alim.  


Kini, di desa nyai bagendit itu terbentuk sebuah danau kecil yang dinamakan 'Situ Bagendit' Situ artinya danau dan Bagendit berasal dari nama Bagendit. Beberapa orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa melihat lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu adalah penjelmaan Nyai Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah. Sebagai sebuah pengingat bahwa kesombongan itu hanya akan membawa malapetaka.

4 komentar:

  1. Balasan
    1. Terimakasih.. sebenarnya ini masih ada banyak salah

      Hapus
  2. Keren, ini mas.
    Saya suka gaya tuturnya.
    Kapan-kapan pingin ke sana, ah :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih. Meski sebenarnya masih ada kesalahan-kesalahan logika.

      Hapus