Ini adalah sebuah cerita rakyat dari tanah sunda yang akan
diubah endingnya berdasarkan imajinasi yang saya pikirkan. Sebelumnya saya
minta maaf apabila dalam penyajian cerita ini terdapat hal-hal yang tak kalian
suka atau membuat kalian tersinggung. Sekarang mari kita nikmati ceritanya.
Cerita Legenda Situ Bagendit
Pada zaman dahulu kala, di sebelah utara kota Garut,
terdapat sebuah desa yang penduduknya kebanyakan adalah petani. Karena tanah di
desa itu sangat subur dan tidak pernah kekurangan air, maka sawah-sawah mereka
selalu menghasilkan padi yang berlimpah ruah. Namun meski begitu, para penduduk
di desa itu tetap miskin kekurangan. Hal tersebut disebabkan oleh ulah seorang
tengkulak bernama Nyai Bagendit.
Hari masih sedikit gelap dan embun masih bergayut di
dedaunan, namun para penduduk sudah bergegas menuju sawah mereka. Hari ini
adalah hari panen. Mereka akan menuai padi yang sudah menguning dan menjualnya
kepada Nyai Bagendit.
Nyai Bagendit adalah orang terkaya di desa itu. Rumahnya
mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus cukup menampung padi yang
dibelinya dari seluruh petani di desa itu. Ya! Seluruh petani. Dan bukan dengan
sukarela para petani itu menjual hasil panennya kepada Nyai Bagendit. Mereka
terpaksa menjual semua hasil panennya dengan harga murah kalau tidak ingin cari
perkara dengan centeng-centeng suruhan wanita itu. Lalu jika pasokan padi
mereka habis, mereka harus membeli dari Nyai Bagendit dengan harga yang melambung
tinggi.
*******
Sementara itu seorang petani bernama asep akan berangkat ke
sawah bersama temannya.
"Wah kapan ya nasib kita berubah?" ujar asep kepada temannya yang bernama usro tersebut.
"Wah kapan ya nasib kita berubah?" ujar asep kepada temannya yang bernama usro tersebut.
"Tidak tahan saya hidup seperti ini", keluh asep. Dengan menunduk, asep melanjutkan. “Kenapa yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?" lintah darah yang asep maksud adalah nyai bagendit.
"Sssst, jangan keras-keras, nanti ada yang
dengar!"kata usro, sambil menaruh telunjuk ke bibirnya. "Kita mah
harus sabar!”, usro berhenti sejenak, seakan merenung pasrah, sebelum kemudian
melanjutkan. “Nanti juga akan datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang
suka berbuat aniaya pada orang lain. Tuhan tidak pernah tidur!", ujar
usro, tegas.
**********
Sementara itu Nyai Bagendit sedang memeriksa lumbung
padinya.
"Barja." kata Nyai Bagendit pada centengnya. "Bagaimana?
Apakah semua padi sudah dibeli?"
"Beres Nyi." jawab Barja, sambil menepuk-nepuk
tangannya yang kotor "Lumbung sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa
masih kita simpan di luar karena sudah tak muat."
"Ha ha ha ha...! Sebentar lagi mereka akan kehabisan
beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya!" Kata Nyai Bagendit
tertawa senang. Dengan angkuh, nyai bagendit melanjutkan "Awasi terus Para
petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri
pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!"
Benar saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa
mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak yang sudah mulai menderita
kelaparan. Sementara Nyai Bagendit selalu berpesta pora dengan makanan-makanan
mewah di rumahnya.
"Aduh Usro, persediaan beras kita sudah menipis.
Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli beras ke Nyai Bagendit." keluh
Asep kepada Usro, teman petaninya. "Kata tetangga harganya sekarang lima
kali lipat dibanding saat kita jual dulu. Bagaimana ini, Ro?"
Pada suatu siang yang panas, dari ujung desa nampak seorang
nenek yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk dengan
tatapan penuh iba.
"Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya
karena kelakuan seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri." pikir
si nenek. Dia berjalan mendekati asep yang sedang menumbuk padi.
"Permisi! Saya numpang tanya," kata si nenek.
"Ya, Nek ada yang bisa saya bantu?" jawab asep
yang sedang menumbuk padi tersebut.
"Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya
di desa ini?"
"Oh, maksudnya rumah Nyai Bagendit?" kata asep. Berhenti
menumbuk padi kemudian berdiri tegap menghadap sang nenek. "Sudah dekat,
Nek.” Kata asep. Dengan memainkan jari jempolnya ke arah yang dituju asep
melanjutkan. “Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan, lalu belok
kiri. Nanti akan terlihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya.”
“Memang nenek ada
perlu apa sama Nyai Bagendit?", Tanya asep, dengan keheranan.
Dengan senyum yang sedikit hadir, nenek tersebut menjawab, “saya
mau minta sedekah”.
"Ah percuma saja, nek, tidak akan memberi dia mah.
Kalau nenek lapar, makanlah di rumah saya saja." Kata asep,
menyarankan.
"Tidak usah, terima kasih" jawab si nenek. Diam sebentar. Kemudian melanjutkan. "Saya hanya mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah.
"Oh, begitu nek, silahkan nek" kata asep dengan muka yang sedikit heran. Kenapa nenek tersebut ingin tahu reaksi nyai bagendit?
******
Di tempat lain, Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang
berlimpah, demikian pula para centengnya. hingga tiba si nenek di depan rumah
Nyai Endit dan langsung dihadang oleh para centeng.
"Hei pengemis tua! Cepat pergi dari sini! Jangan sampai
teras rumah ini kotor terinjak kakimu!" bentak centeng.
"Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang
bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan,"
"Apa peduliku," bentak centeng. "Kalau mau
makan ya beli, jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret."
Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya. "Nyai Endit
keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Bagendiiit ...!" teriak si nenek.
Centeng-centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus
berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.
"Siapa sih yang berteriak-teriak di luar," ujar
Nyai Endit. "Mengganggu orang makan saja!"
"Nek, siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di
depan rumah orang?" bentak Nyai Bagendit.
"Saya hanya mau minta sedikit makanan karena sudah tiga
hari saya tidak makan,"kata nenek.
"Tidak ada makanan di sini! Cepat pergi, nanti rumahku
kotor."
Si nenek pun pergi meninggalkan rumah tersebut. Dibalik punggungnya
nyai bagendit dengan centeng-centengnya meledek dan berlagak angkuh kepada si
nenek.
Nenek tersebut tidak merasa terhina, tidak merasa sedih. Justru
tersenyum seakan ada hal yang indah yang hadir pada dirinya sendiri.
Nenek tersebut melanjutkan perjalanan hingga kembali ke
tempat asep menumbuk padi.
“nenek sudah kembali” kata asep, ketika melihat nenek
berjalan dengan tersenyum. “bagaimana nek? Dikasih sama nyai bagenditnya?”
Dengan mendekati asep, nenek pun berkata, “tidak, sep. saya
malah dimarahi”.
“tuh kan kata saya juga apa nek, tidak akan dikasih”.
“tapi kok nenek malah tersenyum?” Tanya asep, heran.
“Nenek tersenyum karena nenek hanya bisa seperti itu, sep!
kalau misalnya nenek tadi cemberut apa masalahnya selesai, sep? tidak bukan
sep? jadi ya nenek tersenyum saja”.
“Lebih baik sekarang kita buat sesuatu sep”, ujar nenek,
melanjutkan.
“maksudnya nenek?”
“Iya sep”, sambil duduk di pinggir sawah membelakangi jalan.
asep ikut duduk disampingnya.
“kita harus melawan nyai bagendit itu sep!” ujar nenek
melanjutkan.
“bagaimana caranya, nek?”
“Coba kamu panggil dulu teman kamu yang sedang menumbuk padi
bersama kamu tadi”
“siap nek”, kata asep, mengiyakan.
Sambil melambaikan
tangan, Usro!, teriak asep kepada temannya yang sedang menumbuk padi di tengah
sawah. Usro melihat lambaian tangan tersebut, kemudian datang menghampiri asep.
“ada apa sep?” kata usro, setelah tiba di depan asep,
berdiri menghadap jalan.
“sini duduk dulu”, asep menarik tangan usro menyuruh untuk
duduk di sebelah asep.
“gini!” kata asep melanjutkan. “kata nenek, sambil menunjuk ke
arah nenek, kita harus berbuat sesuatu untuk melawan nyai bagendit”.
“oh, iya nek! Betul begitu?” kata usro, menanyakan pada
nenek yang berada di sebelah kanan asep.
“betul ro, kita harus melawan kesombongan nyai bagendit itu”
“tapi bagaimana caranya nek?”
“begini, kita harus mengumpulkan semua warga, kita harus
berusaha bersama-sama melawan penindasan ini”
Dengan mimik serius, nenek tersebut menatap usro dan asep
kemudian berkata, “kita kumpulkan semua warga, bawa alat-alat pertanian yang
ada. Kita bawa malam ini ke rumah nyai bagendit.”
Asep dan usro mengangguk bersama-sama.
Kemudian nenek melanjutkan. “setelah sampai ke rumah nyai
bagendit, kita segera melemparkan semua alat-alat pertanian kita, kemudian kita
pulang. Biarkan mereka yang mengelola pertanian kita. Kita sebaiknya mengikhlaskannya
dan pergi ke tempat lain”. kata nenek, menjelaskan panjang lebar rencananya
dengan sedikit berbisik.
Setelah itu, asep dan usro segera memanggil semua warga. Mereka
ketuk pintu rumah-rumah warga dan menjelaskan rencananya. Hingga akhirnya
mereka berhasil mengumpulkan seluruh warga desa dan bersiap ke rumah nyai
bagendit.
Malam telah tiba, nenek beserta asep dan usro serta seluruh
warga berangkat bersama-sama menuju rumah nyai bagendit. Mereka bergerak
bersama-sama dengan amarah yang memancar dari wajah mereka masing-masing.
Tiba di rumah nyai bagendit, asep dan usro segera
memerintahkan warga untuk melemparkan alat-alat pertanian yang mereka punya
sambil berteriak, “silahkan nyai, kami sudah capek mengurus sawah dengan hasil
yang sedikit. Silahkan nyai urus sendiri sawah-sawah kami. Kami akan pergi
meninggalkan desa ini.”
Mendengar suara gaduh di luar, nyai beserta
centeng-centengnya yang sedang tertidur segera bergegas keluar, menemui sumber
suara.
Nyai kaget mendengar warga pada menyerang dirinya. Tiba-tiba
muncul rasa takut dalam dirinya. Hanya sebentar, untuk kemudian nyai menata
hatinya dan segera memerintahkan centeng-centeng untuk menyerang warga.
Warga bergegas berlari tunggang langgang. Mencari keselamatan.
Kabur meninggalkan desa tersebut.
Centeng-centeng tidak berhasil mencegah dan menangkap warga
hingga tiba keesokan harinya.
Beberapa tahun kemudian, Bisnis nyai bagendit semakin
terpuruk karena kesulitan mengelola
sawah dan kekurangan pembeli hingga tanpa sadar nyai membuat kesalahan dalam
pengelolaan irigasi dan menyebabkan sebuah banjir bandang yang menenggelamkan
desa tersebut.
Asep, usro dan warga lain beserta nenek hidup damai di tempat
lain menjadi pengelola hutan dan nenek tersebut menjadi penasihat desa hingga
meninggal dunia. Ternyata nenek tersebut adalah seorang pengembara yang alim.
Kini, di desa nyai bagendit itu terbentuk sebuah danau kecil
yang dinamakan 'Situ Bagendit' Situ artinya danau dan Bagendit berasal dari
nama Bagendit. Beberapa orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa melihat
lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu adalah penjelmaan Nyai Endit
yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah. Sebagai sebuah pengingat bahwa
kesombongan itu hanya akan membawa malapetaka.
Suka kak
BalasHapusTerimakasih.. sebenarnya ini masih ada banyak salah
HapusKeren, ini mas.
BalasHapusSaya suka gaya tuturnya.
Kapan-kapan pingin ke sana, ah :)
Terimakasih. Meski sebenarnya masih ada kesalahan-kesalahan logika.
Hapus